Perempuan dan Ular Hijau di Tandon Air Wonokitri (1)
Reporter:
Agus Supriyadi|
Editor:
Agus Supriyadi|
Selasa 12-01-2021,10:10 WIB
Wajah Eksotik, Mirip Ibu Kita Kartini, Berpadu Wangi Kenanga
![](https://memorandum.co.id/wp-content/uploads/2021/01/12-sejuta-kisah-rumah-tangga.jpg)
Aku sedang duduk santai di badukan tandon air Wonokitri ketika gadis itu muncul dari arah belakang. Langkahnya pelan tapi pasti. Wow, cara jalan
mblarak semplah yang menyebabkanku
ngeleg idu.
Kamis sore itu aku diajak bapak-bapak gowes tipis-tipis. Kami
muter-muter Mayjen Sungkono, Pakis, dan sekitarnya. Keluar-masuk gang, menikmati sasana sore kehidupan perkampungan Surabaya.
Tiba-tiba ada yang minta berhenti, mau
pipis. “Tunggu di sini.
Bentar aja,” kata Pak Aris sampil menunjuk
badukan sebuah bangunan kuno. Pada bagian atasnya ada tulisan Tandon Air Wonokitri Kota Madya Surabaya.
Aku menggeletakkan sepeda dan duduk. Ternyata semuanya ikut-ikutan
pipis. “
Pipis kok nular,” batinku. Aku ditinggal sendirian. Tiga-empat menit berlalu, belum ada yang balik. Sampai 10 menit, belum muncul juga.
“
Iki pipis atau bikin hujan,” kata hatiku sambil mengulum senyum. Sudah lewat setengah jam, tapi belum juga ada tanda-tanda kemunculan mereka. Padahal, sudah terdengar azan Magrib.
Aku berdiri, hendak pulang
duluan. Bapak-bapak biar
nyusul. Salah sendiri
pipis kok lupa waktu. Saat itulah dari arah belakang terdengar langkah kaki. Aku menoleh. Seorang gadis... Wow…
Langkahnya pelan tapi pasti. Cara jalan yang
mblarak semplah menyebabkanku
ngeleg idu. Gadis itu tidak memperhatikanku. Terus melangkah. Wangi kenanga menusuk-nusuk hidung. Hemmm… wangi klasik yang lembut.
Aku tak bisa melepaskan pandang. Dia sempat menoleh, memperlihatkan wajah eksotik. Padu dengan baju warna hijau yang dipakainya. Ia mengingatkan pada wajah pahlawan nasional kita, Kartini. Mendadak muncul keinginan menyapanya, “Mbak mau ke mana?”
Gadis itu tidak menjawab. Hanya tersenyum. Tampak deretan gigi
miji timun di antara bibir yang merah merona. Aku kembali menelan ludah. Namun, kali ini tidak mudah. Sepertinya ada yang menyekat tenggorokan.
Aku kira dia akan menjawab pertanyaanku. Tapi tidak. Dia kembali meneruskan langkah. Bersamaan dengan itu, kembali aku mendengar langkah-langkah dari arah belakang.
Aku menoleh. Ternyata bapak-bapak. Mereka bermunculan dari balik bangunan. “
Pipis kok tahunan,” semprotku. Mereka tertawa dan mengambil sepeda masing-masing.
“Tadi Pak Aris sempat jatuh. Waktu
pipis, kaki kanannya tak sengaja menginjak ular. Spontan menjerit dan terjengkang,” kata Pak Suri.
Menjerit? Tapi selama aku menunggu kok tidak mendengar suara apa-apa ya? Namun aku diam. Tidak berkomentar. Aku malah lebih tertarik menceritakan pertemuanku dengan gadis yang berwajah mirip ibu kita Kartini tadi.
“Gadis yang mana?”
“Tadi, ketika nunggu kalian yang
nggak balik-balik.”
“
Nggak balik-balik
gimana?
Wong kami hanya buang air di belakang tembok itu. Setelah itu langsung balik.”
“Ketika kalian muncul
barusan, gadis itu masih ada di sini,” kataku sambil menunjuk tanah di depanku.
Mendadak Pak Suri terkejut. “Awas, Ada ular dekat kakimu,” teriak Pak Suri.
Reflek aku melihat ke bawah. Benar, seekor ular hijau sebesar batang pohon pisang melingkar dekat kakiku. (bersambung)
Penulis :
Yuli Setyo Budi
Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih
Sumber: