Tidak Mampu Menolak Dijodohkan vs Gadis Pilihan Ortu

Tidak Mampu Menolak Dijodohkan vs Gadis Pilihan Ortu

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Vila sederhana di kawasan Trawas, Mojokerto, menjadi saksi bisu pernikahan siri Jono (35, samaran) vs Ningsih (34, juga samaran). Beberapa kerabat mereka turut memberikan restu. Termasuk Memorandum. “Bagaimana? Sah?” tanya Kiai Azis, sebutan untuk naib yang menikahkan Jono dan Ningsih, kepada para saksi. Bukan hanya mereka, tapi seluruh hadirin yang hadir menjawab serempak bagai koor, “Saaah…” Kiai yang menjadi pemangku pondok pesantren di kawasan Pacet ini lantas berdoa dan mengakhiri acara. Sesaat kemudian dia berpamitan, meninggalkan pasangan pengantin dalam suasana gembira. Untuk ukuran nikah siri yang dilakukan tidak secara terbuka, tamu yang hadir lumayan banyak. Jono ditemani lebih dari kesebelasan sohib, sementara Ningsih diikuti 10-an kerabat. Selebihnya santri Kiai Azis. “Terima kasih!” kata Jono sambil menyalami Memorandum erat-erat. Ada air mata mengalir di pipi Jono. Wajar bila Jono sampai begitu terharu menyikapi pernikahannya dengan Ningsih. Banyak jalan berliku sebelum mereka sampai pada titik ini. Titik di mana Jono dan Ningsih menemukan kabahagiaan mereka. “Inilah yang selama ini saya impikan. Sungguh. Sekali lagi terima kasih,” bisik Jono mengulangi ungkapan kegembiraannya. Kami memang akrab. Kami sama-sama anggota majelis taklim sebuah masjid di kawasan Wiyung. Jono dan Ningsih adalah teman sekolah semasa SMA di Mojokerto. Jono kakak kelas Ningsih. Sejak Ningsih duduk di kelas satu, mereka sudah menjalin tali kasih. Saking mesranya, mereka sampai dijuluki Romi dan Yuli, baik oleh para guru maupun teman-teman sekolah. Hubungan mereka terus berlanjut hingga sama-sama duduk di bangku perguruan tinggi. Keduanya mengambil jurusan yang sama. Meski masuknya selisih setahun, mereka diwisuda pada tahun yang sama. Tak lama kemudian Jono diterima kerja di sebuah perusahaan swasta ternama dan berniat melamar Ningsih. Saat itulah mulai terjadi persoalan. Sebab, tanpa disadari yang bersangkutan, ternyata Jono yang berdarah Maduran tulen sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Sejak bayi. Dan, itu sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam keluarga besarnya. Jono dijodohkan vs kerabat sendiri yang masih terikat hubungan persaudaraan. “Aku tidak pernah mendengar soal perjodohan itu,” aku Jono, suatu saat. Pemuda pendiam ini juga merasa bersalah karena sejak awal tak memperkenalkan Ningsih kepada keluarga. “Aku memang tidak pernah memperkenalkan Ningsih ke orang tua. Di keluarga kami tidak ada istilah pacaran. Makanya begitu lulus kuliah dan dapat kerja, aku langsung minta dilamarkan Ningsih,” kata Jono menjelaskan budaya di keluarga besarnya. Ditegaskannya bahwa tradisi keluarga tersebut sudah berjalan turun-temurun dan tidak bisa ditolak. Itu baru diketahui Jono dari ibunya saat dia minta dilamarkan Ningsih. “Saya tidak berani membantah orang tua. Belum pernah ada yang seperti itu di keluarga kami,” tutur Jono. Ketika hal itu disampaikan kepada Ningsih, perempuan itu shock berat. Dia stres dan depresi berkepanjangan sampai seperti orang gila. Ningsih yang saat itu baru diterima bekerja di sebuah bank swasta terpaksa harus melepaskannya. Saking beratnya tekanan kejiwaan yang dideritanya, sesuatu yang tidak terduga akhirnya terjadi. Ningsih benar-benar berperilaku bak orang gila. Setiap hari selalu mengenakan busana pengantin yang dirangkainya dari sampah plastik dan tali rafia. (bersambung)  

Sumber: