Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (41)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (41)

Paman Karim dan Sultan Zalim Raib, Malah Tampak Ujung Senjata

Dalam sekejap Ghadi sudah berada setapak di atas pusaran asap hitam. Pucuk cemara satu-satunya yang menjulang paling tinggi menjadi penyangga dia dan Paman Karim. “Buka mata, Paman. Paman, untuk sementara kita sudah aman,” kata Ghadi sambil menepuk pundak Paman Karim. Yang ditepuk tidak bereaksi. Ghadi kemudian membawa Paman Karim ke puncak air terjun yang terlihat dari situ. Segar. Ghadi membasahi seluruh tubuh Paman Karim dan mengusap permukaan kulitnya. Tidak berapa lama kemudian Paman Karim tersadar. Tapi tubuhnya masih lemah. Saat itu tiba-tiba sarung pembungkus bola Pakde Limin bergetar. Pemuda tersebut lantas membukanya. Tampaklah beberapa titik di bola itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. “Sepertinya senjata Kang Limin sudah aktif kembali. Mungkin lantaran tersiram dinginnya air terjun,” kata Paman Karim. “Mungkin juga tereaksi doa-doa yang kubacakan tadi. Wallahu a’lam. Yang penting sudah berfungsi,” kata Ghadi, “Paman tunggu di sini. Aku akan kembali ke ajang laga.” Tanpa menunggu jawaban, Ghadi sudah melompat masuk rindang hutan. Asap hitam sudah tidak ada. Digantikan udara segar. Wangi bunga pinus merebak ke mana-mana. Ghadi mencari Sultan Tara dan Pangeran Sabrang Kali. Tidak ada. Tempat itu sepi. Tidak ada tampak tanda-tanda kehidupan. Di sana-sini hanya tampak banggkai binatang. Dia lantas kembali ke tempat Paman Karim dan persembunyian Sultan Zalim. Matahari mulai menyusup masuk peraduan. “Sebaiknya kita menyelamatkan Putri Laila terlebih dulu,” kata Ghadi. “Kau tahu di mana Laila?” tanya Sultan Zalim. “Memangnya kau sudah tahu?” sela Paman Karim. Ghadi mengangguk. “Mudah-mudahan masih berada di tempatnya semula. Aku mendeteksinya pakai bola Pakde Limin. Tapi, bisa saja dia dipindahkan. Pangeran Sabrang Kali dan bapaknya sudah pergi dari tempat pertarungan tadi,” kata Ghadi sambil menoleh ke Paman Karim. “Apa tidak sebaiknya kita ke sana sekarang?” tawar Sultan Zalim. “Jangan. Kita butuh istirahat. Besok saja,” kata Ghadi. Semua sepakat. Setelah separuh malam beristirahat, dini hari menjelang Subuh mereka bertiga terbang ke Antartika. Dengan jurus melibat bumi, mereka mendarat di samping sebuah gundukan es. Ghadi segera meletakkan bola Pakde Limin di dasar gundukan. Memantrainya. Tidak lama kemudian bola bergetar. Berputar pelan, mengencang, makin kencang, dan makin kencang. Akhirnya sosok yang dicari, Putri Laila, terlihat gambarnya. Ternyata tidak lagi di Antartika, melainkan sudah dipindah ke Sichuan, China. Tidak menunggu lama, mereka bergeser ke provinsi di kawasan barat laut China itu. Berdasar panduan bola tadi, Laila terdeteksi berada di istana kerajaan. Kabarnya Putri Laila hendak dipersembahkan Sultan Tara dan Pangeran Sabrang Kali kepada kaisar China, Sie Fat Khu Ping. “Kita harus segera membebaskannya,” kata Ghadi sambil menoleh ke belakang. Ghadi terkejut. Sebab, ternyata Paman Karim dan Sultan Zalim tidak ada. Yang tampak malah ujung-ujung pedang dan tombak. (bersambung)       Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: