Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (33)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (33)

Wusss… Gunung Argopuro Melesat Kembali ke Tempat Asal

Pasrah. Ikhlas. Itulah yang terlintas di benak Ghadi. Intinya, dia harus menguatkan sisi kemanusiaannya, kemudian sepenuhnya bertawakal kepada Yang Mahaesa. Sang Pencipta Langit dan Bumi serta Marajainya. Pelan-pelan Ghadi memejamkan mata. Fokus pada penguatan seluruh kemampuan diri serta berharap Allah selalu menyertai dan membantu. Mulutnya pun komat-kamit berdoa, “Yaa Hayyu Yaa Qoyyum birohmatika as-taghiits wa ashlih lii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan.“ Ghadi merasa tubuhnya gringgingen nikmat. Seperti yang dia rasakan saat hampir mencapi titik orgasme. Seiring dengan itu, kepekaan indranya bertambah. Gerakan kecil dan samar di belakang mampu dirasakan. Bukan hanya melalui pendengaran dan penglihatan, Ghadi juga merasakan lewat pancaran gelombang via bulu-bulu tubuh. Bagai radar menangkap sinyal. “Allahu akbar!” Ghadi menggumam, “Bismillahilladzi  laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul alim.” Tiba-tiba Ghadi mendengar teriakan Pangeran Sabrang Kali. Bersamaan dengan itu, sebuah pohon raksasa tercabut dan terbanting ke arahnya. Jedhar!!! Tanah tempatnya berdiri berubah menjadi empang tanpa air. “Itu hanya pembukaan,” kata Pangeran Sabrang Kali. “Ingin merasakan inti jurus ini?” imbuhnya. Sebelum sempat menjawab, Ghadi melihat langit meremang. Sebuah cendawan raksasa mengawang di ketinggian mega. Riuh rendah suara pertempuran berubah senyap. Para prajurit terkejut. Mereka dlongap-dlongop melihat ke atas. Mereka berpikir: dari mana benda ini? Tapi tidak demikian dengan Ghadi. Dia tahu bahwa itu adalah sebuah gunung. Melihat dari mana arah didatangkannya, Ghadi yakin itu adalah Penanggungan. Tapi kalau mengukur besarannya, bisa juga itu Argopuro. “Pamer?” kata Ghadi. Ia mengulur waktu agar gunung itu tidak segera dijatuhkan. Sebab kalau itu terjadi, korbannya bisa sangat banyak. Baik dari pihaknya maupun pihak musuh. Padahal, sejatinya ia belum menemukan cara yang tepat menghadapi serangan tersebut. Sambil berpikir begitu, Ghadi mengulang merapal doa, “Yaa Hayyu Yaa Qoyyum birohmatika as-taghiits  wa ashilih lii sya’ni kullahu wa laa takilnii ilaa nafsi thorfata ‘ain abadan. Ya Allah, bantulah aku mengembalikan gunung ini ke tempatnya semula. Allahu akbar.” Teriakan Ghadi dibarengi gerakan kedua telapak tangan mendorong ke atas. Wusss… gunung tadi melesat ke arah timur dan hilang di balik arak-arakan awan. Suasana yang sempat hening kembali diramaikan denting senjata beradu. Sebuah sabetan pedang mendesing di depan Ghadi, diikuti dorongan keras dari samping kiri. Ghadi beringsut mundur selangkah sekalian membalas serangan dengan sundulan tongkat. Hampir saja sodokan itu mengenai bagian vital musuh andai Pangeran Sabrang Kali tidak sedikit melompat. Tapi, langkah ini tampaknya sudah diprediksi Ghadi. Sebelum gerakan menghindar mencapi titik aman, Ghadi menarik tongkat dan menyodokkan kembali serong 30 derajat. Kini menyasar dada. Mak-des. Ulu hati Pangeran Sabrang Kali terkena totokan meski dilapisi baju besi. Akibatnya fatal. Napas Pangeran nyaris terhenti. Tapi, tak urung momentum sodokan terus mengalir ke arah jantung. Andai Pangeran tidak memiliki kemampuan mengendalikan ritme aliran darah, habislah riwayatnya. Udara yang sempat dihimpun di paru-paru sebelum kena totok diubahnya menjadi aliran listrik, yang lantas disengatkan ke jantung. Jantung yang nyaris mandek kembali berdetak. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: