Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (26)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (26)

Darah Mengucur, Sebuah Anak Panah Menembus Tumit Kaki Kiri

Entah berapa lama dalam kondisi trans, Ghadi menyadari keberadaan dirinya tergeletak di tengah hamparan lautan pasir. Panas membakar. Sepi. Hanya terdengar desir angin padang. Mendesing-desing. Ghadi menoleh ke kanan dan ke kiri. Daerah yang sangat asing. Ghadi mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Pikirannya buntu. Otak dan memorinya memang terasa penuh sesak, tapi tidak ada satu pun yang dia ingat. Memori-memori yang berjejal di dalam otaknya seolah berebut ingin keluar. Tapi justru karena terlalu ingin mengingat itulah, semua memori lambat laun melemah dan kehilangan power untuk mengekspresikan diri. Ghadi akhirnya pasrah. Berusaha menenangkan pikiran dan hati dengan duduk bersimpuh. Memusatkan fokus hanya ke Sang Pencipta Segala. Sang Penguasa Segala. Sang Murbeng Dumadi. Panas yang membakar berangsur dingin. Embus angin kering yang mengelupaskan berangsur menyepoi-poi. Ghadi tenggelam dalam belaian ketenangan. Satu per satu ingatannya pulih. “Laila.” Nama itu yang pertama berkecamuk di benak, “Ke mana dia?” Ghadi kemudian memusatkan konsentrasi untuk mendeteksi keberadaan sang istri. Gelap. Kosong. Tidak ada sinyal sama sekali. Dia alihkan titik fokus pencarian ke Paman Karim. Memang ada sinyal, tapi terputus-putus. “Ke mana mereka?” batin Ghadi. Demikian juga ketika mencoba mendeteksi keberadaan Pakde Limin. Ada sinyal, tapi putus-nyambung seperti gaya pacaran remaja era 2000-an. Cinta rantas. Cinta methel. “Sebaiknya aku kembali ke rumah atau warung Emak,” pikir Ghadi, yang segera merapal doa melipat bumi. Cling! Bukannya mendarat di tempat yang dituju, Ghadi malah mendapati diri di pelataran Chandi Borobudur. “Sebenarnya aku sedang berada di dunia manusia apa di dunia jin?” tanya hatinya. Tidak mau larut dalam kebingungan, Ghadi lantas merapalkan doa melipat bumi dengan tujuan tempat kali pertama bertemu Putri Laila. Cling. Tapi kembali Ghadi kecewa. Dia malah mendapati diri berada di tengah pertempuran dahsyat. Sebuah gerakan cepat menyenggol lengan kanan. Ghadi spontan menoleh. Entah kapan memasangnya dan siapa pemasangnya, tiba-tiba dia melihat di ujung lengannya terlilit panji hitam bertuliskan kalimat tauhid. “Panglima! Kita terdesak. Kita harus mundur. Kita atur strategi,” teriak sebuah suara, yang tidak jelas diucapkan oleh siapa dan ditujukan kepada siapa. Ghadi tidak bereaksi. Suara serupa terdengar lagi. Tapi kali ini jelas ditujukan kepada siapa. Ternyata dirinya. Ghadi. “Panglima Ghadi, kita mundur ke goa Selokarang,” teriak suara tadi sambil meloncat sangat tinggi dan menghilang. Ghadi hendak menyusul, tapi kaki kirinya terasa perih. Loncatannya mental ketika baru melayang dua-tiga meter. Seperti membentur langit-langit beton neser. Dia lirik kaki yang terasa nyeri. Sebuah anak panah menembus tumit. Serangan tidak berhenti. Sebuah anak panah lain meluncur ke arah kaki kanan. Cepat dan tidak terhindarkan. Memang tidak sampai menancap, tapi berhasil membuat luka robek. Darah mengucur. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: