Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (19)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (19)

Tubuh Ibrahim Dilontarkan Manjaniq Masuk Kobaran Api Raksasa

Dalam transnya, Ghadi juga menyaksikan menara api raksasa di tengah lapangan. Lidah apinya menjilat-jilat kaki langit dan panasnya terasa hingga radius puluhan meter. “Untuk apa menara api itu?” tanya Ghadi kepada orang-orang yang berada di pinggir lapangan. “Untuk membakar orang yang memorakporandakan patung dewa-dewa kita,” kata seseorang di antara mereka. Pada waktu bersamaan terdengar teriakan bersahut-sahutan dari salah satu sudut lapangan. Ghadi mendekat. Dia melihat beberapa orang meletakkan seorang lelaki dalam manjaniq—sejenis pelontar batu untuk perang kuno. Mereka mengikat kedua tangan lelaki tersebut di belakang pundak. Mereka juga menanggalkan semua pakaiannya. Beberapa saat kemudian terdengar aba-aba yang memerintahkan lelaki tadi dilempar ke tengah kobaran api. Ghadi mempertajam penglihatan dan pendengaran. Dia ingin mengetahui apa yang terjadi. Bersamaan dengan putusnya tali pelontar, Ghadi mendengar lelaki yang terikat kuat di manjaniq berucap, “Hasbunallah wa ni’mal wakil.” “Siapa lelaki itu?” tanya Ghadi. “Ibrahim anak Azar, pembuat patung dewa kita. Dia pasti hangus dan lebur jadi abu.” “Belum tentu,” kata Ghadi lirih. Orang-orang menoleh mengawasi. “Tunggu saja. Dia akan keluar dari kepungan api dalam kondisi segar,” imbuh Ghaadi sambil melangkah pergi. Langkahnya diikuti tatapan heran orang-orang. Sebuah memori berikutnya mencacat pengalaman saat dia berdiri di bibir pantai Laut Merah bersama rombongan yang ketakutan karena sedang dikejar pasukan kerajaan. “Siapa yang mengejar kita?” tanya Ghadi kepada seseorang. “Firaun dan pasukannya. Kita tidak bisa menghindar lagi. Jalan buntu. Di belakang ada musuh, di depan terbentang lautan. Kita bakal tersusul dan dibantai,” jawab orang itu. Dari jauh terlihat kepulan debu mengangkasa. Teriakan-teriakan pasukan Firaun terdengar mengerikan bagai gelombang teror. “Ini salah Musa. Andai kita tidak menuruti dia,” kata seseorang dengan rasa takut yang memuncak. Kalimat saling menyalahkan, kalimat penyesalan, dan kalimat berpengharapan berloncatan. Entah dari mulut siapa. Tidak jelas. Saat itulah, dari kejauhan Ghadi melihat seorang lelaki gagah mengayunkan tongkat. Pada saat bersamaan aliran air laut bagai terbelah. Menyibak dan memperlihatkan dasarnya. Orang-orang segera lari menyeberang. Sampai tuntas. Ghadi lari paling belakang. Ketika semua orang sampai ke bibir pantai seberang, air laut menutup. Bala tentara Firaun yang sedang berada di dasar lautan dikejutkan belahan air yang kembali menyatu. Glegar! Mereka tenggelam-lam-lam-lam. Ghadi istirahat. Duduk di atas batu. Di sampingnya terlebih dulu duduk seorang lelaki gempal berkulit cokelat kehitam-hitaman. “Maaf, siapa nama Kisanak?” tanya Ghadi. “Samiri,” kata lelaki tadi. “Ghadi,” kata Ghadi sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Samiri acuh tak acuh. Dia malah berdiri dan melihat sekeliling. “Kita selalu diikuti Jibril. Dia menunggang kuda,” katanya. “Jibril?” tanya Ghadi. “Kau tidak bakalan tahu. Aku tahu karena masa kecilku pernah diasuh makhluk langit.” Setelah istirahat cukup, rombongan bergerak. Ghadi selalu memperhatikan Samiri. Termasuk ketika lelaki tersebut memunguti tanah. “Buat apa?” tanya Ghadi. “Ini tanah bekas jejak kuda Jibril. Suatu saat pasti berguna.” “Untuk apa?” “Kita lihat saja nanti.” (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: