Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (13)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (13)

Musuh Mudah Dijatuhkan karena Terpana Kecantikan Putri Laila

Hal-hal lain yang diajarkan, antara lain, memecah tubuh menjadi tujuh bayangan. Ini dibutuhkan untuk memecah konsentrasi musuh. Juga, jurus berpindah tempat seperti kilatan cahaya yang memudar dan terang. Ketika sedang berlatih di halaman belakang, mereka mendengar suara bergemuruh. Seperti sebuah bukit runtuh atau gelombang raksasa menghantam pesisir. Putri Laila berteriak, “Mereka datang!” “Tenang. Mereka tidak akan bisa melihat kita. Tempat ini ditutupi tujuh lapis tabir kaca one may. Kita bisa melihat dan mendengar mereka, tapi mereka tidak bisa melihat dan mendengar kita,” kata Pakde Limin. “Memang bisa saja mereka menembus lapisan-lapisan itu, tapi butuh waktu. Mari kita segera pergi,” ajak Pakde Limin, yang mengulurkan lengan untuk dipegangi. Sesaat kemudian, plas… mereka sudah menghilang. Pada saat hampir bersamaan, mereka mendarat di sebuah tanah lapang. Tempat itu sudah ramai orang berkumpul. “Kita segera turun ke medan perang. Persiapkan mental kalian,” kata Pakde Limin, yang kemudian naik mimbar dan berbicara dengan suara lantang. Dia bakar semangat para mujahidin yang rela menyerahkan jiwa-raga demi tegaknya kalimat tauhid. “Allahu akbar… Allahu akbar,” teriak mereka sambil bergerak menuju tempat-tempat yang sudah ditentukan. “Kalian kembali ke kerajaan Sultan Tara dan kerajaan ayah Laila,” kata Pakde Limin kepada Pendekar Ghadi dan Putri Laila. Mereka pun  bergerak diikuti tiga ribuan prajurit. Belum sampai di tempat yang dituju, mereka bertemu musuh di lereng Gunung Pananggung. Pertempuran langsung pecah. “Kamu cari para sultan, aku akan mencari Pangeran Sabrang Kali. Aku penasaran ingin menjajal kemampuannya,” kata Putri Laila. “Kita bersama-sama saja,” tawar Ghadi. “Tidak praktis. Siapa yang sudah berhasil mengalahkan musuh, dia yang mencari di antara kita,” kata Laila sambil meladeni serangan prajurit-prajurit kelas teri musuh. Laila sangat mudah membabat mereka. Sebab, kebanyakan musuh itu terpana oleh kecantikan Laila dan lupa sedang berhadapan dengan musuh dalam peperangan. “Mereka musuh sekaligus penggemarmu,” kelakar Ghadi sambil meloncat jauh. Setelah membelah gelombang lawan yang tak berbilang dan memungut nyawa-nyawa mereka seperti mencabut uban, terlihatlah Sultan Zalim. Tidak seperti yang dibayangkan, Sultan Zalim yang kabarnya sudah tua itu ternyata masih gagah. Dia menghadapi para mujahidin yang berikat kepala kain hitam bertuliskan kalimat tauhid. Sulan Zalim menjatuhkan musuh yang mengelilingi kudanya tanpa gerakan berarti. Satu gerakan kecil saja sanggup memukul mundur para pengeroyok. Sejatanya berupa cemeti berkepala tengkorak. Setiap mengenai sasaran, darah segar keluar seperti air laut muncrat terhantan meteor jatuh. Tidak hanya si tuan, kuda yang ditunggangi juga dengan lincah menendang orang-orang di sekeliling dengan sepakan mematikan. Ghadi sempat kagum. Namun setelah diperhatikan denga seksama, ternyata sepatu kuda tersebut dipasangi pisau bermata tiga. “Hebat juga,” batin Ghadi melihat sepak terjang mertua biologisnya itu. Untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban di pihak mujahidin, Ghadi segera menghadang pergerakan Sultan Zalim. Dan tahu ada pemuda menghadang tepat di depannya, sultan dengan mahkota seribu tengkorak tersebut menhentikan geraknya. “Maaf Sultan, sebelum menghentikan langkahmu, aku memberi kesempatan Sultan bertobat dengan menguc          apkan kalimat syahadat,” kata Ghadi. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: