Warisan Habis, Pindah ke Surabaya Kota Durjana

Warisan Habis, Pindah ke Surabaya Kota Durjana

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Mengadu nasib di Surabaya sebenarnya pilihan berat. Tapi, itu harus diambil oleh Prayogi (35, bukan nama sebenarnya), asal Lumajang. Sawah warisan orang tuanya sudah dibagi dengan kakak dan adiknya. Kini tanah itu bahkan habis terjual. Tanpa sisa. Prayogi memang pemuda yang merasa tidak punya arah hidup. Saya berasal dari desa dan punya warisan lumayan. Saat itu rasanya tidak akan habis untuk selama hidup, katanya kepada Memorandum di pangkalan penjual nasi goreng dekat ruko di kawasan Ngagel, beberapa waktu lalu. Ternyata, sesuai pepatah, teman di kala suka memang sangat mudah dicari. Begitu juga yang terjadi pada Prayogi. Selama masih ada harta warisan, rasanya dia dipuja belasan temannya yang rutin mengajaknya bersenang-senang. Setiap malam. Kurang dari tiga tahun, harta warisan pun ludes. Untungnya ada kakak yang mau menampung saya. Tapi, saya akhirnya malu sendiri. Hidup menumpang tanpa penghasilan. Saya pun bertekad mengadu nasib ke sini (Surabaya, red), tutur Prayogi sambil memangku anak perempuan usia sekitar lima tahunan. Sepuluh tahun lalu, saat usianya sudah 22 tahunan, Prayogi merantau ke Surabaya. Masih beruntung ada satu teman yang mau menerimanya di Surabaya. Saya masih kuat untuk menjadi kuli bangunan atau kuli angkut di pasar, kata Prayogi. Memang, tubuhnya cukup kekar. Khas tubuh pemuda desa yang dimatangkan alam. Mulai saat itulah Prayogi belajar mandiri. Bekerja sebagai kuli bangunan dan tidur berpindah dari lokasi satu proyek ke proyek lain. Prayogi merasa beruntung bila mendapat proyek renovasi bangunan. Selama renovasi, dia dan teman-temannya bisa memilih tidur di lokasi proyek. Untuk makan, mereka lebih sering memasak atau sesekali membeli makanan di warung sekitar proyek. Inilah awal mula kehidupan Prayogi menjadi lebih dewasa. Dari proyek inilah, Prayogi menemukan tambahan hatinya. Iya. Saya bertemu Ria (samara, red), istri saya, saat sedang merenovasi sebuah rumah di kompleks perumahan di Surabaya Barat. Dia pembantu rumah tangga di sekitar proyek, papar Prayogi. Sering bertukar pandang saat Prayogi mencari makan, atau saat istirahat sore hari, membuat keduanya berkenalan. Sejak mengenal Ria, saya lebih suka tinggal di proyek, kendati akhir pekan dan teman-teman pulang ke kampung halaman. Saya merasa eman kalau harus kelihangan kesempatan bertemu Ria. Kami bertukar nomor telepon dan WA. Kami pun semakin intens, kata Prayogi. Sampai akhirnya, keduanya sepakat menikah dan Ria berhenti sebagai pembantu rumah tangga. Tanggung jawab ada pada saya. Saya pun yakin akan mampu. Pada 2011, kami pun menikah dan kos di Wiyung. Kami benar-benar merasa sempurna menjalani hidup. Saya hidup lebih tenang karena ada yang memperhatikan dan menyiapkan segala kebutuhan, jelas Prayogi. (*/bersambung)  

Sumber: