Antara Industri Halal dan Keberadaan Lembaga Keuangan Syariah
Oleh Nur Suci IMM Dosen STIE Perbanas Surabaya Kalau bicara tentang lembaga keuangan syariah, ada bank syariah dan ada lembaga keuangan non bank. Keberadaan bank yang berkonsep syariah dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada 1992 sekaligus menjadi pionir keberadaan bank-bank syariah yang lain. Kini (sampai akhir Mei 2020) di Indonesia terdapat 14 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS), serta 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Keberadaan UUS sendiri yang mestinya pada 2023 harus melepas diri (spint-off) dari bank induknya, yaitu bank kovensional yang diikuti, nampaknya semakin menjadi suatu kenyataan. Sinyal ini terlihat sejalan dengan langkah yang diambil oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tatkala menerbitkan Peraturan OJK (POJK), nomor 28/POJK.03/2019 tentang Sinergi Perbankan dalam satu Kepemilikan untuk Pengembangan Syariah. POJK ini terbit dengan salah satu alasan untuk mempertahankan kinerja dan kualitas layanan yang dilakukan oleh UUS pasca spint off pada 2023, serta meningkatkan daya saing BUS dalam memberikan service kepada para nasabahnya. Kalau semua UUS melakukan spint-off, dapat dihitung akan ada 20 BUS yang baru. Namun untuk dapat menjadi BUS yang persyaratan ketat, bisa jadi UUS ada yang bergabung atau berkonsolidasi dengan BUS yang sudah ada, atau berkonsolidasi dengan sesama UUS. Hal ini menarik untuk diamati apakah ada sinyal dari sisi keuangan atau kinerja dari UUS yang selama ini diperoleh agar dapat melepas diri dari bank induknya dan berdiri mandiri sebagai satu kesatuan usaha yang berdiri sendiri sebagai suatu badan usaha di bidang perbankan. Selain perbankan Syariah, masih terdapat lembaga yang berkonsep syariah di antaranya pegadaian syariah, asuransi syariah, modal ventura syariah, fintech mikro unit syariah, baitul maal wa tamwil (BMT). Tak hanya itu, ada juga koperasi simpan pinjam syariah. Lantas muncul pertanyaan, siapa sebenarnya pangsa pasar mereka? Menjawab itu pertama tentu jawabannya adalah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Jawaban kedua, saat ini atau lebih tepatnya sejak 17 Oktober 2019 mulai digalakkan dan adanya kewajiban tentang “sertifikasi halal” bagi produk dan yang beredar serta diperdagangkan di wilayah Indonesia. Hal ini seperti termaktum dalam pasal 4, UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Terkait dengan kata halal, maka kita akan fokus pada makanan atau produk. Di saat membeli kue, permen, atau makanan yang lain, kita pasti mencari stempel atau kata halal atau tidak, selain fokus pada tanggal kedaluwarsanya (expired date). Jarang sekali pembeli mengamati komposisi bahan yang digunakan, padahal ini justru yang penting. Bicara tentang “halal”, sebenarnya kalau kita telisik lebih jauh bahwa masih ada yang lain yang berkaitan dengan halal, selain produk dan pangan. Di antaranya, yang saat ini muncul adalah wisata halal, kosmetik, obat, fashion, juga hotel dan tidak ketinggalan rumah sakit syariah. Dan terakhir, muncul yang namanya akuntansi syariah untuk rumah sakit. Dunia akuntansi pun tidak mau ketinggalan dengan banyaknya perkembangan dunia usaha yang berkonsep syariah, maka organisasi profesi atau lebih tepatnya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan Standart Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah). Selain itu juga ada akuntansi pesantren, ini dikarenakan salah satu tujuan diterbitkannya standar tersebut adalah agar lembaga tersebut dapat melakukan pencatatan dengan benar dan dapat menghasilkan laporan keuangan yang layak sebagai bentuk pertanggung jawaban. Adakah kaitan antara industri halal dengan keberadaan lembaga keuangan syariah? Dapat diamati berdirinya hotel Namira yang berkonsep syariah, mengapa memilih lokasi strategis dekat masjid Al Akbar Surabaya. Masjid, yang utama digunakan untuk tempat beribadah, namun juga banyak pengunjung yang datang dari luar kota untuk berwisata religi. Selain itu, di sana (Masjid Al-Akbar) juga ada ruang atau tempat digunakan untuk resepsi pernikahan dan yang lainnya, dimana pengunjung pun butuh penginapan. Tentunya perkecualian di masa pandemi ini menjadi sesuatu yang lain. Islamic economic muncul karena dari bottom up bukan dari topdown, sehingga perbankan syariah, lembaga keuangan syariah merupakan bottom up. Apabila mau membangun dan mengembangkan keuangan syariah, maka pastinya diiringi dengan membangun ekonominya.(*)
Sumber: