Juru Cerewet!

Juru Cerewet!

"Ayah mandi dulu." "Bajunya ganti." "Gak boleh duduk." "Langsung mandi." Anak-anak dan menantu saya kompak.Tahu saya baru pulang bertugas Jumatan di masjid Ummul Mukminin beberapa waktu lalu. Mereka benar-benar waspada corona. Sangat beralasan karena yang nomer satu sedang punya baby dan yang nomor dua, istrinya sedang hamil 7,5 bulan. Kebetulan lagi kumpul di rumah. Saya nurut. Siapa juru cerewet di keluarga Anda? Cerewet corona, cerewet mengajak sholat jamaah tepat waktu. Cerewet kesehatan misalnya mengingatkan: "jangan terlalu gemuk". Menurut saya, perlu ada "juru cerewet" di setiap rumah, di perkumpulan, di kantor, di pasar, di manapun. Sebab, kita memang sering teledor. Contoh, di perkumpulan Senam Dahlan Iskan (SDI). Senamnya sendiri berlangsung tertib, disiplin menjaga jarak, semua pakai masker. Tapi, seusai senam, kadang terlihat banyak yang ngomong-ngomong. Apalagi jika ada yang bawa makanan, cenderung mengumpul. "Woooe!! jaga jarak!" kata Abah Dahlan Iskan, setiap tahu ada yang saling berdekatan. Abah DI termasuk "juru cerewet paling cerewet" menghadapi corona ini. Bahkan, suatu hari, saya kena teguran karena bawa kacang godok dalam satu kresek. "Bawa pulang lagi. Lain kali harus sudah dimasukkan kotak kecil-kecil. Jadi tinggal bagi," katanya. DI berkali-kali mengingatkan agar di klub SDI jangan sampai ada yang terkena corona. Saling menjaga. Karena itu, setiap ada update, tentang Covid 19 selalu diberitahukan kepada seluruh anggota. Bahkan, kadang-kadang ada ceramah khusus tentang Covid dari dokter. Yang terakhir dari dr Dwi Koryanto Sp.BS, yang membahas aneka ragam masker, termasuk cara melepasnya dan menyimpannya yang benar, dan tentu juga yang aman. Harus ada "pahlawan" covid di rumah, di perkumpulan, di kantor, atau di mana saja. Sebab, kita cenderung lalai. Menganggap bahwa virus ini masih jauh darinya, tidak mau mendekatinya. Tubuhnya cukup kuat menghadapinya. Lihatlah betapa sederhana proses penularannya. Seorang asisten rumah tangga (ART) pulang dari Surabaya untuk menghadiri hajatan pernikahan di rumahnya, di kampung Klitik, Kasihan, Tegalombo, Pacitan. Di Surabaya dia dites PCR, tapi sebelum hasilnya keluar, dia pulang ke Pacitan. Betapa hebohnya, begitu hasil tesnya dia dinyatakan positif Covid. Langsung, diambil langkah tegas, semua penghuni kampung yang berjumlah 53 KK dikarantina. Semua akses ke kampung ditutup. Makanan dipasok dari Desa dan Polres. Setiap kali makanan atau bahan makanan siap dihalo-halo pakai toa. Sementara, si ART-nya sendiri diisolasi di Wisma Atlet Pacitan. Jangan sekali-kali lalai hanya gara-gara badan yang kuat, baik itu badan sendiri, maupun tamu kita. Justru Orang Tanpa Gejala (OTG) lah yang selama ini dianggap paling berbahaya. Paling aman tetap pakai masker dan face shield setiap berinteraksi dengan orang lain. Jaga jarak, sering cuci tangan pakai sabun dan protokol kesehatan lainnya. "Paket!", "Go Food"! setiap ada teriakan orang yang mengantar makanan atau barang di depan pagar, kita biasanya bergegas mau mengambilnya. Lupa maskeran dulu, lupa pakai face shield. Menganggap aman hanya kurang semenit berinteraksi. "Juru cerewet" harus cepat bertindak. "Maskernya!". "Face shieldnya!" Begitu sudah diterima, diteriaki lagi: "Cuci tangan!" Harus ada "juru cerewet" di setiap rumah dan perkumpulan. Jika satu rumah cuek semua, sangat berbahaya. Teledor semua. Lalai semua. Berpotensi terkena semua. Sungguh berbahaya. Menjadi "juru cerewet" mungkin menyebalkan. Sering dilawan. Juga dicuekin. Tiap saat bilang: "masker!" atau "jaga jarak!" atau "cuci tangan!" "Ganti baju," "Mandi!" Belum tentu langsung diikuti, dipatuhi. Tapi, sungguh jauh lebih baik daripada diam saja yang bisa membahayakan kita semua. Ayo, berkorban mulia menjadi "juru cerewet" di lingkungan kita.Mau? Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Sumber: