Mewaspadai Penyalahgunaan Kewenangan di Pilkada

Mewaspadai Penyalahgunaan Kewenangan di Pilkada

Pilkada serentak dipastikan tanggal 9 Desember 2020, dikuti 270 daerah di 9 Propinsi  dan 224 Kabupaten dan 37 Kota,  dari jumlah kabupaten kota tersebut, mayoritas akan didominasi calon petahana/incumbent (yaitu orang yang menjabat atau masih menjabat) maju pada kompetisi Pilkada 2020. Namun demikian, yang patut diawasi adalah penyalahgunaan kekuasaan ataupun jabatannya karena kesempatan dalam akses kekuasaan akan sangat terbuka lebar. Seperti program-program bantuan, memanfaatkan Bansos Covid-19, hibah atau dalam bentuk yang lain sangat rawan penggunaan anggaran daerah untuk kepentingan Pilkada bagi petahana. Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam pelaksanaan tahapan Pilkada. Larangan tersebut banyak kita ketemukan di UU Pilkada, maupun Perundang-undangan lain. Godaan penyalahgunaan kewenangan sangat mungkin dilakukan Kepala Daerah terlebih kalau dirinya ingin maju kembali mencalonkan kepala daerah. Pengertian menyalahgunakan kewenangan berarti telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut (Putusan M.A tertanggal 17 februari 1992 No. 1340 K/Pid/1992). Ditegaskan dalam Pasal 71 Ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada:  “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Selanjutnya pada Ayat (4) dinyatakan sebagai berikut : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota. Kalau saya lihat ketentuan UU Pilkada sudah sangat tegas memberikan semangat keadilan dalam memperlakukan kompetisi Pilkada bagi semua calon sehingga ada pengawasan ketat bagi calon kepala daerah yang sedang menjabat Kepala Daerah (petahana) maupun bagi pejabat kepala daerah. Hal ini karena ia bersinggungan dengan kewenangan-kewenangan, program-program dan kegiatan sangat rawan disalahgunakan untuk tujuan pencalonan sehingga merugikan calon lain, sanksinya terhadap petahana yang melanggar akan dikenai sanksi pembatalan sebagai calon. Begitu juga bagi kepala daerah yang tidak mencalonkan namun telah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan salah satu calon juga akan dikenai sesuai dengan perundang-undangan berlaku. Seperti dinyataan dalam Pasal 71 Ayat (5) UU No. 10 tahun 2016 : “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.  Selanjutnya Ayat (6) dinyatakan : “Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sejauh manakah penyalahgunaan kewenangan  tersebut dapat dijabarkan Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu : (1). Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, (2). Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain, (3). Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Dan Pasangan kepala daerah di pilkada 2020 yang masih berkeinginan maju kembali bisa saja melakukan penyalahgunaan wewenang, program dari Pemerintah. Baik ia yang masih bakal calon maupun sudah menjadi calon hingga petahana sangat rawan memanfaatkan momen pandemi Covid-19 untuk kepentingan politiknya. Mereka banyak akses di pemerintahan daerah, sehingga petahana berpeluang memanfaatkan pemberian bantuan sosial penanganan Covid-19 untuk menarik simpatik para pemilih dan banyak lagi. Sejumlah kerawanan lain menurut saya, sama halnya dengan meningkatnya politik uang antar calon dengan memanfaatkan situasi perekonomian masa pandemik covid -19. Walaupun sebenarnya dalam situasi normal, politik uang bisa marak. Apalagi di tengah situasi pandemi yang mengakibatkan perekonomian sedang melambat. Pemilih bisa saja menjadi target dari pihak-pihak tertentu yang melakukan politik uang. Jangan sampai uang sebagai pendekatan ke masyarakat pemilih, untuk itu perlu diawasi untuk mencegah perbuatan yang bertentangan dengan UU Pilkada. Ketua KPK Firli Bahuri tanggal 11 Juni 2020 melalui keteranganya telah memberikan perhatian dalam pengawasan Pilkada serentak dan dengan meminta agar KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memberi sanksi para petahana yang menggunakan program penanganan pandemi COVID-19 untuk pencitraan jelang pilkada. "Diperlukan kehadiran penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu sejak dini untuk mengingatkan dan memberi sanksi para petahana yang menggunakan program penanganan pandemi COVID-19 seperti bansos untuk pencitraan diri, yang marak terjadi jelang pilkada serentak yang tinggal menghitung hari," (https://www.liputan6.com). Indikasi adanya sejumlah oknum bupati/wali kota sengaja memperbesar alokasi dana penanganan covid-19 untuk pencitraan pribadi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, upaya oknum kepala daerah tersebut, tidak lepas dari agenda Pilkada yang akan digelar pada akhir tahun ini. Beberapa kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada 2020, ditengarai dengan sengaja membagi-bagikan sendiri bantuan sehingga seolah-olah merupakan bantuan pribadi. Padahal dana bansos itu bersumber dari APBD dan APBN. KPK masih mendalami keterkaitan kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Kutai Timur dengan pengumpulan modal untuk pemilihan kepala daerah atau  Pilkada 2020. Meskipun demikian, kasus tersebut menjadi alarm, menjelang pilkada, kemungkinan penyalahgunaan wewenang akan semakin banyak terjadi (https://rumahpemilu.org edisi 6 Juli 2020). Prinsip Pilkada itu mewujudkan sebuah demokrasi di daerah secara jujur dan adil seperti yang sudah diamanatkan UU sebagai perwujudan kedaulatan rakyat di daerah. Sehingga UU Pilkada menjamin terhadap warga negara yang maju menjadi calon kepala daerah mendapat perlakuan yang sama secara adil baik bagi petahana yang memiliki kekuasaan, maupun yang bukan petahana. UU Pilkada telah melarang penyalahgunaan jabatan untuk menguntungkan kepala daerah yang maju kembali (petahana) menggunakan kekuasan, apalagi menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik bagi petahana sendiri maupun lawan politik terlebih memanfaatkan anggaran bersumber dari anggaran negara. Para pihak sudah selayaknya memberi ruang yang cukup untuk mengawasi pencalonan dan Petahana/incumbent dalam pilkada ini. Kalau dilihat dari jadwal proses tahapan pilkada di Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020 (tentang tahapan, jadwal dan program penyelenggaraan Pilkada tahun 2020)  pada 23 September 2020 akan dilakukan Penetapan Pasangan Calon kepala daerah dan tanggal 24 September  2020 dilakukan Pengundian dan pengumuman nomor urut Pasangan Calon, sementara tanggal 23 September 2020 sampai dengan tanggal 9 November 2020  ruang untuk sengketa tata usaha negara Pemilihan, selanjutnya pada tanggal 26 September 2020 sampai dengan tanggal 5 Desember 2020 petahana harus mengambil cuti karena tahapan pelaksanaan masa kampanye, karena pemungutan dan penghitungan suara Pilkada akan dilaksanakan 9 Desember 2020. Oleh karenanya selama cuti calon kepala daerah dari pertahana tidak boleh menggunakan fasilitas negara dalam bentuk apapun dan harus melepaskan tanggungan negara sebagai petahana. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Dan juga ditegaskan dalam peraturan KPU No. 1 tahun 2020 atas perubahan ketiga Peraturan KPU No. 3 tahun 2017 pasal 4 Ayat (1) huruf r terkait dengan kesediaan cuti di luar tanggungan negara selama kampanye, menyatakan secara tertulis bersedia cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, atau Wakil Wali Kota yang mencalonkan diri di daerah yang sama ; Ada sebuah usulan menarik, mengapa calon petahana kok tidak mundur saja? tentu akan menjadi sebuah terobosan hukum yang luar biasa dalam penyelenggaraan pilkada ini. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi dalam proses pelaksanaan pilkada yang akan diatur sesuai dinamika politik yang akan datang. Oleh karenanya perlu adanya kajian mendalam dari banyak pihak, khususnya penentu kebijakan dalam membentuk regulasi atau aturan sehingga pilkada akan semakin ringan dalam pengawasannya. Karena jika hal itu terjadi (petahana diwajibkan mundur), maka kemungkinan terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan dapat dihindari. Pilkada serentak 9 Desember 2020 merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun adanya ruang dibukanya kesempatan kepala daerah untuk maju kembali dengan hanya cuti (tidak mundur) menjadikan kekuasaan yang bersangkutan bebas melakukan sesuatu yang ia kehendaki demi mencapai hasrat kekuasaan kembali, entah dengan kelalaian ataukah kesengajaan. Orang yang memegang kekuasaan secara otomatis yang bersangkutan mempunyai pengaruh, dan hal inilah yang diimpikan oleh setiap orang yang memburu kekuasaan yakni dirinya mempunyai pengaruh dari kekuasaan yang dimiliki. Ia punya hak memerintah, hak untuk mengatur dan hak untuk mengambil keputusan. Meskipun akhirnya jika tidak berhati-hati pemegang kekuasaan akan terlena dan masuk dalam jurang panas penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan. Meski telah berulang kali pejabat negara tertangkap tangan dan dijebloskan ke penjara gara-gara korupsi, suap, ataupun pemerasan, namun masih banyak pejabat dan penyelenggara negara lainnya  tidak takut dan juga tidak jera. Jumlah pejabat negara mulai dari menteri, anggota dewan, gubernur, bupati sampai dengan pejabat yang lebih rendah dari berbagai jenjang dan tingkatan yang tersandung kasus penyalahgunaan kekuasaan. Jumlahnya bukan semakin berkurang, malahan justru semakin merajalela meluluhlantakkan sistem administrasi tata negara. Apakah hal tersebut berhubungan dengan proses rekruitmen politik? Punishment yang dirasakan dari hasil penyalahgunaan kekuasaan relatif lebih ringan dibanding dengan manfaat yang dirasakannya. Misalnya, akibat dari penyalahgunaan wewenang (kalau terbukti ketahuan) risikonya sudah diperhitungkan yakni dipenjara, dan setelah dikalkulasi selama masa tahanan/ masa hukuman yang bersangkutan masih menghitung ada keuntungan secara materil dari hasil penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan yang tanpa kendali cenderung korup, demikian juga kekuasaan mutlak tanpa ada hirarki dipastikan akan korup. Namun, riset psikologi membuktikan, kondisi itu hanya berlaku bagi pemegang kuasa yang mementingkan ego pribadi. Masyarakat saat ini sudah lebih mengerti dalam memilih pemimpin mereka akan memilih pemimpin yang mempunyai integritas, kepribadian yang kuat, jujur, dan benar-benar dapat dipercaya, tidak melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang. Dalam perjalanan memimpin nanti tentu akan terekam dengan jelas oleh warganya atas pembangunan yang akan terukir oleh warga dan anak cucu kita pada masanya.(*)

  • Fayakun, SH.M.Hum.M.M, Penulis adalah Ketua Bawaslu Tulungagung.

Sumber: