Mantan Direktur RSMU Diadili

Mantan Direktur RSMU Diadili

Surabaya, memorandum.co.id – Gegara surat teguran tertulis yang dikeluarkan kepada bawahannya, mantan Direktur Rumah Sakit Mata Undaan (RSMU) dr Sudjarno menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (19/5). Terdakwa yang didampingi Soemarso, penasihat hukumnya mendengarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) I Gede Willy Pramana dengan pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP. Dalam dakwaannya yang dibacakan di hadapan Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana, bahwa kasus ini bermula saat terdakwa memberikan sanksi tertulis kepada saksi dr Lidya Nuradianti (pelapor). Dalam teguran tertulis itu, terdakwa dr Sudjarno menyebut jika saksi dr Lidya Nuradianti melanggar prosedur kerja dan etika profesi dalam penanganan terhadap pasien yang melakukan operasi incisi hordeolum pada 29 November 2107. Di mana operasi tersebut dikeluhkan pasien, karena perawat yang tidak memiliki kewenangan melaksanakan tindakan medis. "Padahal terdakwa dalam kapasitasnya sebagai Direktur Rumah Sakit Mata Undaan tidak memiliki kewenangan untuk menilai pelaksanaan etik kedokteran dan menyatakan adanya suatu pelanggaran etika profesi kedokteran," kata JPU Willy. Selain itu, masih terang Willy, tudingan pelanggaran etika profesi tersebut dilakukan secara sepihak tanpa adanya pembuktian dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Surabaya melalui Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). "Sesuai keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor : 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 Tanggal 20 Agustus 2018, menetapkan saksi dr Lidya Nuradianti tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik," terang Willy. Atas dakwaan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa mengaku tidak mengajukan eksepsi. Ditemui usai sidang, Soemarso, penasihat hukum terdakwa mengatakan, perbuatan terdakwa bukan merupakan pelanggaran hukum. "Ingin membuktikan apakah benar itu pelanggaran hukum. Karena menurut saya ini bukan pelanggaran hukum, ini pelanggaran administrasi yang kaitannya antara bawahan dan atasanya,” jelas Soemarso. Lanjutnya, terhadap surat yang sudah disampaikan sudah dicabut sebelum perkara ini berlanjut di pengadilan. “Dicabut tidak berlaku lagi, teguran itu kan hanya berlaku enam bulan di tahun 2017 sekarang 2020. Tiga tahun sudah, menurut saya dakwaan sudah kabur,” pungkas Soemarso. Sementara itu, Nur Yahya, penasihat hukum lainnya menambahkan, bahwa surat teguran yang diberikan ke saksi pelapor itu sesuai prosedur dan atas rekomendasi komite medik. "Dari situ dikeluarkan oleh beliau atas rekomendasi komite medik yang ada di rumah sakit dan itu internal. Tapi sama yang bersangkutan (dr Lidya) dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), "ujarnya. Nur Yahya menambahkan, apa yang dilakukan saksi pelapor salah sasaran. Mengingat jika di sana (MKEK) itu terjadi pelanggaran kode etik, tapi di sini pelanggaran prosedur dan etika profesi. “Aneh bin ajaib, keluhan dr Lidya ini terus dimasukkan dalam yuridiksi MKEK dibuat putusan. Ini yang dijadikan alat bukti akhirnya. Saya akan buktikan di persidangan. Beliau jadi terdakwa hanya karena tanda tangan," pungkas Nur Yahya. (fer/tyo)  

Sumber: