Kisah Nelayan Jaring Tarik Pantai Damas Watulimo Trenggalek

Kisah Nelayan Jaring Tarik Pantai Damas Watulimo Trenggalek

Trenggalek, memorandum.co.id - Memerlukan perjuangan yang gigih untuk meraup sesuap nasi demi melangsungkan kehidupan agar mampu menghantarkan kepada hidup layak serta mengenyam pendidikan yang baik. Itulah yang tergambar dari raut wajah memerah agak kehitaman bahkan seringkali dijumpai banyak lebam pada beberapa bagian tubuh nelayan jaring tarik di Pantai Damas kawasan Dusun Damas Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Hari itu sudah hampir azan Duhur saat matahari sudah sepenggalah menyengat tubuh beberapa nelayan yang sibuk memarkir perahu kecilnya menepi hingga menyeret pasir pantai yang masih alami. “Lumayan mas tangkapannya ada ikan teri besar juga,”ungkap Suraji,(52), nelayan jaring tarik, sambil menalikan perahunya dengan tali tampar ditautkan pada batang pohon kelapa yang berdiri tegak berjajar di pinggir pantai Damas tersebut. Tak banyak nelayan di pantai yang berlokasi di Jalan Lintas Selatan, (JLS),shelter Prigi- Munjungan ini yang menekuni profesi sebagai nelayan jaring tarik ini. Kurang lebih hanya sekitar 7 perahu saja yang beroperasi guna mengais biota laut limpahan rezeki dari Tuhan tersebut. “Hanya ada 7 perahu saja yang selalu beraktifitas mulai pagi dan pulang kembali siang ke pantai,”imbuh Suraji. Ditambahkan bapak dengan dua anak yang sudah memberikannya cucu empat ini, dirinya membeli 1 unit perahu dari menjual kebun cengkeh yang dimilikinya di tahun 2015 yang lalu seharga Rp 55 Juta. “Harga sekarang satu unit perahu ini kisaran Rp 70 juta,”tambahnya. Sedang perbedaan mencolok dengan perahu Slerek, operasional perahu jaring tarik ini hanya butuh 3 sampai 5 orang saja. “Kalau perahu Slerek butuh 25 orang anak buah kapal (ABK) dengan tiga nakhoda dan pembantunya,” terangnya. Untuk biaya, Suraji mengaku hanya mengeluarkan Rp 200 ribu sekali jalan dengan durasi melaut kurang lebih 4-5 jam. “Selain tidak jauh mencari ikannya, berangkat kita pukul 07.00 Wib dan pulang ke pantai pukul 12.00 WIB jika ombaknya bersahabat,”akunya. Namun, bila ombak tiba-tiba besar bisa sampai pukul 14.00 untuk sampai ke pinggir pantai. Sementara, kaum laki-laki melaut untuk mendulang ikan, istri nelayan Damas ini sudah menunggu di pinggiran sambil bersiap menjual ikan hasil tangkapan sang suami. “ Jika tidak ada wisatawan yang membeli, ikan kita diambil tengkulak sini saja,”ujar Piyatun,(53) istri salah satu kru perahu milik Suraji. Piyatun mengaku perbedaan harga ikan yang dibeli tengkulak dengan wisatawan terpaut jauh. “Bila wisatawan yang beli harganya bisa selisih seratus ribu daripada dibeli tengkulak,”ungkapnya. Kini Piyatun dan belasan ibu-ibu yang masih setia dengan bekerja membantu suaminya akan terus melangsungkan hidupnya sebagai nelayan sampai ujung waktu yang tak pernah tahu rencana Tuhan selanjutnya. “Selama masih kuat saya tetap bekerja seperti ini,”pungkas Piyatun. (ham/gus)

Sumber: