Jadikan KPU dan Bawaslu Lembaga Adhoc, Turunkan Pajak 12%
ABD. AZIZ--
Adhoc kan KPU dan Bawaslu
Melihat kenyataan di atas, sudah waktunya Pak Presiden mengevaluasi kenaikan pajak karena bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaiknya, masyarakat menangis karena harus berjuang dan berjibaku dengan penghasilan uang pas-pasan. Tentu, Pak Presiden tak ingin dikenang sebagai pemimpin negeri yang tak punya sensitivitas pada problem dasar bangsa ini. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih menganga di depan mata. Jangan tambah penderitaan mereka.
Solusi alternatifnya bagaimana? Hemat penulis, keberadaan lembaga penyelenggara pemilu daerah, yakni KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi harus dievaluasi antara manfaat, kegunaan, dan potensi membuang anggaran negara secara cuma-cuma. Bayangkan, setelah penyelenggaraan pemilihan anggota DPRD, DPR dan DPD, pemilihan Presiden, pemilihan Gubenur serta pemilihan Bupati/Wali Kota, praktis KPU dan Bawaslu daerah tidak ada pekerjaan. Namun, mereka terus mendapatkan gaji hingga 5 tahun mendatang.
Jadi, Presiden dapat mempertimbangkan eksistensi KPU dan Bawaslu di daerah tidak lagi menjadi lembaga permanen. Jadikan lembaga ad Hoc yang bekerja sesuai dengan momentum penyelenggaraan pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Jika KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi se-Indonesia sudah tidak permanen, maka APBN kita akan sehat tanpa memukul rakyat. Sekali lagi, menaikkan pajak itu, termasuk memukul hajat hidup orang banyak.
BACA JUGA:KPU Tulungagung Persiapkan Pembentukan Badan Adhoc untuk Pilkada 2024
Bagaimana jika ada pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota? Tidak perlu bingung. Cukup serahkan pada KPU Republik Indonesia. Artinya, selain memproses pada tingkat nasional, KPU RI juga meng-cover PAW pada tingkat lokal dan regional. Simple, bukan? Jadi, Pak Presiden tak perlu risau jika KPU dan Bawaslu di daerah dijadikan sebagai lembaga yang tidak permanen.
Apalagi, KPU dan Bawaslu yang menurut sejarahnya, juga lembaga sementara (Ad Hoc). Misalnya, awal berdirinya pada tahun 1982, dikenal dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak). Lembaga ad hoc pemilu ini merupakan penyempurnaan dan bagian dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) di bawah Kementerian Dalam Negeri. Baru pada era reformasi, gelombang dukungan dan tuntutan akan hadirnya penyelenggaraan pemilu yang independen tanpa dibayang-bayangi kekuasaan, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada tahun 2003, Panwaslak juga mengalami perubahan menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang bersifat sementara dan terpisah dari KPU. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya aspirasi dari publik, Panwaslu berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tahun 2007 dan resmi menjadi lembaga permanen. Setelah KPU dan Bawaslu tampil sebagai lembaga yang tetap, apakah ada signifikansinya dari lembaga yang masih ad hoc sebelumnya? Tentu, soal kinerja dan kontribusinya dalam kualitas penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Juga, pengawasan di dalamnya.
BACA JUGA:Cek Daftar Barang dan Jasa yang Kena PPN 12 Persen
Evaluasi KPU dan Bawaslu
Mengapa penting mengevaluasi keberadaan KPU dan Bawaslu di daerah? Ada sebuah sejarah yang menjadi fakta terbantahkan, yang layak dan patut dicermati bersama. Apa, itu? Terjadi penyelenggaraan pemilu yang dinilai tidak memenuhi rasa kejujuran dan keadilan sehingga terjadi yang namanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pilkada Kotawaringin Barat.
Petahana yang menjadi pemenang Pilkada Sugianto-Eko Soemarno, harus menelan pil pahit lantaran kemenangannya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai penggugat dinyatakan sebagai pemenang oleh MK. Kecurangan TSM ini, tentu tidak hanya petahana yang layak dievaluasi tetapi juga KPU dan Bawaslu.
Pun, pada Pilpres 2019. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menggugat kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin ke MK dengan dalil kecurangan yang TSM. KPU kembali digugat, Bawaslu juga memberikan keterangan sejauh mana pengawasan yang telah dilakukan. Mahkamah mengejar serius dalil dan bukti yang dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon walaupun kemudian tidak terbukti.
BACA JUGA:Penghujung Tahun 2024, Serapan APBD Jombang 86,12 Persen
Kini, pasca Pilkada Jatim 2024, pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) melayangkan gugatan melalui MK, termohon KPU dengan dalil serupa (TSM), pasangan Khofifah-Emil menjadi pihak terkait, dan Bawaslu harus memberikan keterangan pengawasan yang telah dilakukan di Jatim. Sidang gugatan baru masuk pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pembacaan permohonan. Artinya, profesionalitas KPU dan Bawaslu seringkali disoal dalam ruang peradilan yang terhormat, MK.
Sumber: