Dikejar-kejar Kreditur Bayar Utang, Juliani Kehilangan Ayah dan Suami

Dikejar-kejar Kreditur Bayar Utang, Juliani Kehilangan Ayah dan Suami

Juliani ditemani kuasa hukum Shoinuddin Umar (paling kanan). -Farid Al Jufri-

SURABAYA, MEMORANDUM - Juliani mencari keadilan. Orang tersayangnya yakni Jumali (ayah) dan Sukamto (suami) meninggal dunia akibat tekanan dari kreditur yang terus menagih utang di saat pandemi Covid-19. Padahal sebelum covid debitur selalu membayar dengan lancar dari 2012.

BACA JUGA:7 Kapolsek di Surabaya Dimutasi, Siapa Saja?

Pengusaha pengepul kertas bekas asal Kedamean, Gresik ini awalnya pada 2012 ingin memperbesar usahanya dengan meminjam uang Rp 500 juta ke bank untuk dibelikan truk baru sebagai operasional. Keputusan itu justru menjadi malapetaka bagi keluarga. 

BACA JUGA:Sidang Dugaan Pemotongan Insentif ASN, Tiap Awal Bulan, Driver Bupati Ingatkan Kepala BPPD Sidoarjo

"Saya hanya ingin usaha saya berkembang. Akhirnya pinjam ke bank untuk membeli truk baru sebagai operasional untuk mengantarkan kertas bekas ke pabrik. Tetapi utang ini justru menghancurkan hidup saya," kata Juliani, saat ditemui di Jalan Diponegoro nomor 85, Surabaya.

BACA JUGA:AKBP Aris Purwanto Jabat Kasatreskrim Polrestabes Surabaya

Kemudian karena angsuran bagus, akhirnya Juliani bersama suaminya Sukamto mengajukan pinjaman tambahan Rp 200 juta. Dua pinjaman tersebut diperoleh dari bank pelat merah di kawasan Driyorejo, Gresik. 

BACA JUGA:4 Tahun Warga Manyar Gresik Mencari Keadilan, Ditipu Makelar Rp 11 Miliar

Pinjaman awal Rp 500 juta dan membuat mereka membayar cicilan Rp 8 juta per bulan. Kemudian, nasib buruk mulai menghampiri mereka saat ekonomi sulit di tahun 2015.

BACA JUGA:Mayat Dibakar, Dibuang ke Parit

“Usaha saya mulai merosot sejak 2015, karena banyak potongan dari pabrik dan saya meminta agar cicilan yang awalnya Rp 8 juta diturunkan menjadi Rp 5 juta,” ujar Juliani.

Pandemi covid-19 semakin memperburuk keadaan. Dengan pendapatan yang menurun drastis, Juliani hanya mampu membayar cicilan Rp 3 juta per bulan dan akhirnya tidak bisa membayar sama sekali. 

“Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi dan saat saya mengetahui riwayat angsuran dan mendapati utangnya masih sekitar Rp 758 juta (pokok + bunga), saya kaget karena kami merasa sudah membayar lancar sebelum kena Covid-19. Dan waktu ditinggal ayah, kami tetap mengangsur seperti perkataan kreditur," ujarnya. 

BACA JUGA:Sengketa Kampoeng Roti, Pelapor Serahkan Slip Barang Bukti Laporan Keuangan ke Penyidik

Sumber: