Ambisi di Perahu Besar Milik Gusti Allah
Fatkhul Aziz--
Entah sudah yang keberapa kali dalam tubuh Nahdlatul Ulama, yang konon menyimpan keheningan tasawuf, selalu ada riak, gelombang, bahkan badai yang mencemaskan. Gonjang-ganjing yang kini membuncah, yang menyeruak dari balik tembok-tembok kiai yang teduh, bukanlah sekadar silang pendapat biasa. Ia adalah pertunjukan drama lama tentang ambisi, tentang perebutan peta, tentang siapa yang berhak menamai jalan.
Panggungnya kini adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan tokoh utamanya adalah KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) selaku Ketua Umum, yang berhadapan—atau dihadapkan—dengan Rais Aam KH Miftachul Akhyar dan barisan Syuriyah. Sebuah risalah rapat harian Syuriyah beredar, sebuah dokumen yang mestinya sunyi, kini menjadi gema yang memekakkan. Intinya tegas: Gus Yahya diminta mengundurkan diri dalam tempo tiga hari. Bahkan, muncul surat edaran (yang belakangan dipertanyakan keabsahannya oleh pihak Gus Yahya) yang menyebut beliau tidak lagi menjabat Ketum per 26 November 2025.
BACA JUGA:Ketika Sekolah Menjadi Medan Laga

Mini Kidi--
Apa alasannya? Risalah itu mencantumkan evaluasi serius: mulai dari isu pemanggilan narasumber yang dikaitkan dengan jaringan Zionisme Internasional—sebuah langkah yang dinilai melanggar Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah—hingga indikasi pelanggaran dalam tata kelola keuangan. Namun, seperti kata seorang tokoh muda NU, masalah utamanya bukan itu. Isu-isu ini hanyalah casing, wadah yang dipinjam dari perdebatan idealisme, untuk menampung rivalitas yang sesungguhnya. Rivalitas antara Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, atau mungkin hasrat tak terucapkan dari pihak-pihak yang merasa terpinggirkan oleh gaya kepemimpinan yang berbeda.
Di sini, konflik adalah terjemahan dari keinginan yang besar untuk mengendalikan arah organisasi massa terbesar di negeri ini. NU, yang seharusnya menjadi jangkar spiritual, kini ditarik ke dalam pusaran politik dan kekuasaan—sebuah ironi yang membuat Gus Mus (KH Mustofa Bisri) hanya bisa menanggapi dengan senyum kiai sepuh: Santai saja. NU itu milik Gusti Allah. Sudah ada yang ngurus.
BACA JUGA:Tubuh yang Tidak Bergerak
Gus Yahya menolak mundur. Ia bergeming, berpegangan pada mandat Muktamar ke-34 selama lima tahun. Sebuah klaim de jure yang kokoh: Rapat Harian Syuriyah, katanya, tidak punya wewenang memberhentikan Ketua Umum. Mekanisme pemakzulan, menurutnya, harus merujuk pada AD/ART, yang jauh lebih kompleks.
Data menunjukkan perlawanan ini nyata:
Permintaan Mundur: Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH Miftachul Akhyar meminta Gus Yahya mundur (sejak 20 November 2025).
Penolakan dan Klaim: Gus Yahya menolak, menegaskan akan menuntaskan masa jabatannya, dan mengklaim statusnya masih sah secara de jure dan de facto.
BACA JUGA:Generasi Muda dan Dompet yang Jebol
Penggalangan Dukungan: Gus Yahya mengumpulkan ulama dan Pengurus Wilayah NU (PWNU) se-Indonesia, yang diklaim mendukungnya untuk tetap menjabat hingga akhir periode. Sebagian PWNU dan ulama sepuh bahkan mendesak agar islah (perdamaian) menjadi jalan keluar.
Pemberhentian yang Diragukan: Beredarnya Surat Edaran yang menyatakan Gus Yahya tak lagi menjabat, namun dibantah oleh kubu Gus Yahya sebagai dokumen inkonstitusional dan tidak sah.
Sumber:



