Ambisi di Perahu Besar Milik Gusti Allah
Fatkhul Aziz--
Apakah ini sekadar perebutan posisi? Atau ini adalah tragedi ketika khittah (cita-cita awal) organisasi ulama terkoyak oleh hasrat keduniawian? Seorang tokoh muda NU lain berujar, Terjadi seperti ini saja kan sudah sebetulnya malu. Dan bukan cuma yang di Jakarta yang malu, sampai ke bawah ini juga sudah kebingungan dan malu semua.
BACA JUGA:Tepuk-Tepuk di Zaman Ruwet
Di tengah riuh rendahnya media sosial dan klaim-klaim yang saling silang, yang hilang adalah marwah—keagungan moral—organisasi. Suara-suara yang menuntut NU kembali pada khittah ulama dan independensi semakin nyaring.
Barangkali, inilah ujian bagi para petinggi NU yang terlalu serius menjadi kiai—seperti kelakar Gus Mus. Ujian tentang bagaimana sebuah organisasi besar yang didirikan dengan spirit ketawadhuan (kerendahan hati) dan keilmuan, menghadapi cermin ambisi para pemimpinnya. Ujian untuk kembali, bukan kepada aturan formal semata, tapi kepada tabayun—klarifikasi yang tulus—dan islah yang dipimpin oleh kearifan, bukan oleh nafsu yang selalu lapar akan kursi dan pengaruh.
NU memang milik Gusti Allah. Tapi perahu yang berlayar di laut badai ini, ia dinakhodai oleh manusia dengan segala kerapuhan dan ambisinya. Drama ini belum usai. Tapi ia sudah memberi pelajaran pahit bahwa bahkan di puncak menara spiritual pun, ambisi—ambisi untuk mempertahankan posisi atau ambisi untuk menyelamatkan marwah—akan selalu menemukan caranya untuk menenggelamkan keheningan. Dan di tengahnya, warga NU di akar rumput hanya bisa menanti.
Sumber:



