Rotasi Pejabat Jadi Ujian Nyata Transformasi Birokrasi Daerah
--
Rotasi pejabat di pemerintahan daerah selalu menjadi momen yang menarik perhatian publik, ada aroma penyegaran, ada pula bisik-bisik politik di baliknya.
Di satu sisi, rotasi dianggap sebagai bagian dari dinamika organisasi birokrasi, namun di sisi lain, tak sedikit yang menilainya hanya sebagai ritual rutin tanpa dampak nyata terhadap pelayanan publik.

Mini Kidi--
Secara ideal, rotasi merupakan langkah strategis untuk menjaga ritme organisasi agar tidak mandek.
Seorang aparatur yang terlalu lama berada di satu posisi cenderung mengalami kejenuhan dan kehilangan semangat berinovasi.
BACA JUGA:Bank Sampah dan Ilusi Hijau, Sudahkah Kita Jujur Mengelola Limbah
Dalam konteks itu, mutasi bisa menjadi “vitamin” bagi birokrasi, mendorong pejabat untuk beradaptasi, belajar hal baru, dan memperluas perspektifnya terhadap pelayanan masyarakat.
Sayangnya, semangat ideal itu kerap pudar dalam praktiknya, rotasi sering kali dijadikan instrumen politik yang berbalut legalitas administratif.
Pejabat yang dianggap tidak sejalan atau kurang loyal bisa saja digeser, sementara yang dekat dengan lingkar kekuasaan justru naik daun, meski rekam kinerjanya tak gemilang.
BACA JUGA:Pesta di Surabaya Membuka Luka Lama
Fenomena ini bukan rahasia umum, banyak ASN yang tahu, tapi memilih diam karena sadar, jabatan di birokrasi sering kali lebih ditentukan oleh “kedekatan”, bukan kompetensi.
Akibatnya, rotasi kehilangan makna sebagai alat reformasi, karena berubah menjadi mekanisme survival politik.
Pejabat yang baru dilantik pun kerap sibuk beradaptasi dengan peta kekuasaan, bukan fokus memperbaiki layanan publik.
Sehingga yang muncul bukan birokrasi yang dinamis, melainkan birokrasi yang “aman”, di mana semua orang memilih jalur aman, tidak menonjol, tidak kritis, asal selamat.
BACA JUGA:Negara atau Warga yang Kalah
Padahal, publik kini semakin cerdas membaca arah kebijakan, karena masyarakat dapat menilai apakah rotasi dilakukan untuk memperkuat kinerja atau sekadar mengganti “pemain lama” dengan “pemain sendiri”.
Transparansi proses seleksi dan penilaian kinerja menjadi kunci agar rotasi tak lagi dipersepsikan sebagai transaksi kekuasaan.
Kita patut belajar dari beberapa daerah yang berani menerapkan sistem berbasis penilaian kinerja dan kompetensi secara objektif.
Di tempat-tempat seperti itu, rotasi tidak menimbulkan keresahan, melainkan semangat baru, karena ASN yang berprestasi tahu bahwa posisi mereka dihargai karena kinerja, bukan koneksi.
BACA JUGA:Zakat ASN, Energi Perubahan Kota Surabaya
Sudah saatnya kepala daerah menempatkan rotasi pejabat sebagai bagian dari transformasi birokrasi, bukan sekadar tradisi seremonial.
Dengan proses yang transparan, berbasis data, dan bebas intervensi politik, rotasi dapat menjadi momentum pembenahan internal yang sesungguhnya.
Birokrasi yang sehat dibangun dari manusia yang diposisikan secara tepat, bukan dari loyalitas yang dibayar dengan jabatan.
Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan seorang pemimpin bukan seberapa sering ia mengganti pejabat, tapi seberapa kuat sistem yang ditinggalkannya berjalan tanpa perlu terus diguncang rotasi.
Sumber:



