Negara atau Warga yang Kalah
--
Ketika Pertamina datang membawa berkas-berkas tua, banyak warga Darmo Hill dan Dukuh Pakis tiba-tiba tidak bisa tidur nyenyak.
Mereka yang sudah puluhan tahun tinggal di rumahnya sendiri, membayar pajak, memiliki sertifikat, kini ditanya “Tanah ini milik siapa, sebenarnya?”
Pertamina bilang itu aset negara, warisan lama dari masa nasionalisasi, katanya. Dokumennya masih ada bentuk eigendom, verponding, nomor-nomor yang bahkan mungkin tak lagi dikenali pegawai BPN sekarang.

Mini Kidi--
Warga bingung, mereka membeli tanah itu secara sah, dari pengembang yang juga punya izin.
Sudah dibangun rumah, dibayar pajaknya, bahkan diwariskan ke anak cucu, tiba-tiba negara datang, bukan sebagai pelindung, tapi sebagai penuntut.
Itu yang paling menyakitkan, ketika negara yang mestinya melindungi justru membuat rakyatnya resah.
Saya tidak tahu pasti siapa yang benar, tapi saya tahu yang salah, yakni negara yang membiarkan warganya hidup dalam ketidakpastian.
BACA JUGA:Zakat ASN, Energi Perubahan Kota Surabaya
Negara yang baru ingat punya aset setelah puluhan tahun rakyat menempatinya.
Negara yang sibuk merapikan arsip, tapi lupa ada manusia di balik setiap meter tanah itu.
Sebenarnya ini bukan hanya soal Surabaya, kasus seperti ini bisa ditemukan di mana-mana.
Setiap kali BUMN melakukan inventarisasi aset, muncul cerita baru, warga tiba-tiba disebut menempati tanah negara.
BACA JUGA:Keselamatan Bukan Pilihan tapi Kewajiban
Padahal mereka sudah tinggal di sana sejak zaman orang tua mereka masih hidup.
Masalahnya bukan di rakyat, masalahnya ada di sistem yang terlalu lama tidak rapi.
Banyak aset BUMN yang tidak jelas batasnya, tidak ada peta digitalnya, tidak sinkron dengan data BPN.
Semua warisan dari masa lalu, dari era nasionalisasi perusahaan asing tahun 1960-an.
Kala itu, banyak aset yang diambil alih dari Belanda, Shell, Caltex, dan sebagainya, tapi tidak semua dicatat dengan baik, sebagian hilang, sebagian tumpang tindih.
BACA JUGA:Antara Keseimbangan Data dan Hidup Nyata
Sekarang, ketika Pertamina melakukan penataan aset, arsip lama itu muncul lagi, tapi hidup sudah berubah, tanah-tanah itu kini jadi rumah, jadi jalan, jadi sekolah.
Lalu bagaimana? Apakah warga harus pergi hanya karena selembar kertas tua? Apakah sertifikat resmi dari BPN bisa dikalahkan oleh dokumen zaman kolonial?
Kalau jawabannya ya, maka kita sedang membangun negara yang ingat arsip tapi lupa nurani, negara yang kuat di dokumen tapi lemah di keadilan.
BACA JUGA:Surabaya Digital, Pungli Masih Kental
Pertamina tentu punya alasan, mereka diaudit, mereka diminta mencatat ulang aset negara.
Setiap bidang tanah yang terdaftar di bawah nama Pertamina harus dikembalikan, karena itu tanggung jawab keuangan negara.
Itu benar, tapi kebenaran administratif tidak selalu sama dengan kebenaran sosial, ada saatnya negara harus berhenti sejenak dan bertanya apakah ini masih adil?
Sebab di balik angka dan dokumen, ada kehidupan nyata, ada warga yang membangun rumah dari hasil kerja keras, ada anak yang lahir dan tumbuh di sana.
Ada keluarga yang selama ini merasa aman karena punya sertifikat yang sah, tiba-tiba kehilangan pegangan.
Sengketa tanah seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan peta dan undang-undang.
BACA JUGA:Penjara Polisi Penuh, Cermin Buram Demokrasi Jalanan
Butuh keberanian untuk mengakui bahwa negara juga bisa salah, bahwa arsip lama tidak selalu lebih benar daripada kenyataan hari ini.
Saya tidak mengatakan semua klaim Pertamina salah, tapi saya ingin mengatakan bahwa caranya harus berbeda.
Jangan dulu datang dengan klaim, datanglah dengan niat mencari jalan tengah.
Buka dokumen bersama, verifikasi bersama, undang BPN, pemkot, dan warga duduk satu meja.
Kalau benar itu aset negara, berikan solusi yang manusiawi, ganti rugi, relokasi, atau skema sewa jangka panjang, jangan hanya memberi stempel “tanah negara” lalu pergi.
Kalau ternyata tanah itu memang sudah bersertifikat resmi milik warga, maka sebaiknya diakui saja.
BACA JUGA:Aksi 3 September: Rakyat Jatim Bergerak atau Gerakan Segelintir
Tidak semua peninggalan masa kolonial harus dijaga mati-matian, kadang melepaskan lebih adil daripada mempertahankan.
Negara seharusnya hadir bukan sebagai pemilik tanah, tapi sebagai pelindung hak hidup di atas tanah itu, karena bagi rakyat kecil, rumah bukan aset, tapi kehidupan.
Kita sering bicara tentang keadilan sosial, tapi kita lupa bahwa keadilan yang paling sederhana adalah rasa aman.
Aman menempati rumah sendiri, aman membayar pajak dan tahu itu bukan sia-sia.
Aman karena yakin negara berdiri di pihak rakyatnya, bukan berhadapan dengan mereka.
BACA JUGA:Dari Kursi Kehormatan ke Kursi Pesakitan
Pertamina mungkin hanya menjalankan tugas administratif, tapi negara tidak boleh berhenti di administrasi.
Ia harus naik tingkat yakni ke nurani, ke kebijaksanaan.
Kalau tidak, kita akan terus menambah daftar sengketa baru, warga melawan negara, dan setiap kali itu terjadi, yang kalah bukan cuma rakyat, tapi juga makna dari kata Republik.
Sumber:



