Antara Keseimbangan Data dan Hidup Nyata

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, telah menetapkan kebijakan satu rumah maksimal tiga kepala keluarga (KK) untuk menertibkan administrasi kependudukan, dan memastikan bantuan sosial tepat sasaran.

 

Kalau Anda berjalan di gang-gang sempit Surabaya, kadang terlihat satu rumah dihuni belasan kepala keluarga.

Mini Kidi--

Anak-anak berlarian, cucian menggantung, suara televisi dari beberapa kamar bersahutan.

Ditambah lagi dengan banyak rumah kos dihuni puluhan KK, sebagian bahkan sudah tidak tinggal di lokasi.

Bagi banyak orang, ini normal, namun bagi pemerintah, ini angka yang bikin pusing.

BACA JUGA:Basmi Judi Merpati Masikah Jadi Atensi Cak Eri

Dengan aturan tiga KK per rumah, wali kota berharap data menjadi rapi, bantuan sosial tepat sasaran, dan peluang manipulasi data berkurang.

Namun, kebijakan tersebut tidak berdiri di ruang kosong, karena di gang-gang sempit, warga hidup berdesak-desakan karena faktor ekonomi dan keterbatasan lahan.

Ketika aturan memaksa satu rumah hanya boleh menampung tiga KK, tentunya banyak keluarga harus beradaptasi dengan cepat.

Dampaknya tidak hanya administratif, tetapi juga sosial dan psikologis, ketegangan keluarga meningkat, anak-anak kehilangan ruang bermain, dan interaksi sosial terganggu.

BACA JUGA:Surabaya Digital, Pungli Masih Kental

Di sisi perencanaan kota, kebijakan ini menyoroti masalah urbanisasi cepat, keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan fasilitas umum yang tidak seimbang.

Kebijakan “1 Rumah 3 KK” juga menyinggung tata ruang yang belum optimal, di mana kepadatan penduduk harus diimbangi dengan ruang terbuka hijau dan layanan dasar.

Bagi keluarga miskin, kebijakan ini bisa menjadi beban tambahan.

BACA JUGA:Penjara Polisi Penuh, Cermin Buram Demokrasi Jalanan

Mereka harus memikirkan tempat tinggal alternatif, mengurus dokumen administrasi, dan menghadapi ketidakpastian hukum.

Tidak semua warga mampu memenuhi persyaratan ini.

Sumber: