SURABAYA, MEMORANDUM-Pemilihan Umum (PEMILU) baru saja selesai, waktu dimana hak suara yang diberikan kepada warga negara untuk memilih perwakilan mereka.
Sebutan caleg sering dilontarkan kepada calon legislatif, mereka berusaha untuk dipilih oleh warga sebagai perwakilan mereka dalam badan legislatif. Tentu saja, mereka menunggu harapan untuk memenangkan kursi yang mereka bidik.
Ketika hasil suara sementara itu dibeberkan, rupanya banyak caleg yang menghadapi tantangan baru. Kemenangan merasakan beban tanggung jawab yang besar, sedangkan kekalahan bisa mengantarkan ke gejala stres.
BACA JUGA:Bersaing Ketat! Duo Srikandi Ambisi jadi Runner Up di Caleg DPD Jatim
Psikolog Universitas Airlangga, Atika Dian Ariana menanggapi isu tersebut. Tidak jarang durasi video pendek di sosial media tersebar luas, seorang caleg yang sedang stres karena tidak mendapatkan suara.
BACA JUGA:Satukan Semangat, Kapolres AKBP Bayu Ajak PJU Bersepeda Kunjungi Polsek
“Stres secara umum adalah persepsi ketika seseorang menghadapi situasi yang tidak dianggapnya tidak dapat diatasi dengan sumber daya yang dimilikinya. Tekanan dan rasa malu itu muncul karena tidak terpenuhinya ekspektasi yang dimiliki sebelumnya,” kata Atika Dian Ariana, Rabu (28/2/2024).
Persoalan yang begitu kompleks karena caleg nyatanya banyak melibatkan banyak pihak, mulai dari keluarga besar, partai politik, rekan kerja hingga tim sukses. Ketakutan itu pun bisa bertambah jika pencalonan caleg menggunakan nilai material atau transaksi. Atika menyebut, perasaan gagal dan penurunan harga diri sering kali dapat diatribusikan kepada persepsi individu tentang karakter pribadinya sendiri.
Atika menyebut, caleg yang gagal cenderung menarik kesimpulan negatif terhadap diri mereka sendiri, seperti merasa bahwa mereka tidak memiliki cukup kapabilitas atau kompetensi untuk berhasil dalam politik. Belum lagi validasi lingkungan, kolom komentar netizen yang dikhawatirkan memberikan komentar negatif atau bullying.
Gejala seseorang yang sedang mengalami stres yaitu, perubahan pola makan, gangguan pola tidur, menarik diri dari lingkungan, perubahan perasaan sedih cemas yang signifikan dan respons fisik seperti gangguan pencernaan. Selain itu, gejala kognitif cenderung pelupa banyak yang dipikirkan dalam satu waktu, sulit berkonsentrasi, dan kurangnya fokus.
Atika menekankan, pentingnya dukungan sosial bagi kesehatan mental dalam keadaan buruk. Diberi perhatian akan lebih memberikan rasa nyaman, lalu melakukan diskusi kecil dapat membantu mendapatkan perspektif berbeda sehingga menemukan solusi alternatif. Jika tekanan stresor yang berlangsung terus-menerus tanpa penanganan yang tepat, dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan mental yang signifikan seperti depresi.
Menurutnya, strategi menjaga kesehatan mental dan fisik kurang lebih sama. Pola makan sehat, tidur yang cukup, latihan fisik olahraga, mengenal diri sendiri dengan lebih baik dapat membantu memahami kebutuhan, sadari batasan dalam diri, dan dukungan sosial yang tepat. Sebagai anak muda dihimbau untuk proaktif dalam mencari teman dan lingkungan yang sehat. Luangkan waktu untuk refleksi dan evaluasi diri secara berkala.
“Merawat diri dan menjaga kesehatan mental adalah hal yang sangat penting untuk kesejahteraan kita. Jika belum bisa memulihkan diri, sangat disarankan meminta bantuan profesional, seperti psikolog atau psikiater. Tidak tinggal diam dalam keterpurukan, karena itu bentuk wujud mencintai diri sendiri,” pungkasnya. (alf)