Oleh : Natasya Aulia Putri-Fakultas Hukum-Universitas Jember
Pertumbuhan pesat sektor pariwisata sering memicu perdebatan mengenai dampaknya pada lingkungan, terutama ketika melibatkan konversi lahan pertanian menjadi tujuan wisata. Dalam pembahasan ini penulis akan menggali perspektif krusial penerapan prinsip-prinsip tata guna tanah dalam transformasi lahan pertanian menjadi destinasi wisata, dengan menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan dan kepatuhan pada kerangka hukum.
Konversi tata guna lahan, yang didefinisikan sebagai pergeseran dari fungsi yang telah direncanakan menjadi tujuan alternatif, memerlukan ketaatan yang cermat terhadap prinsip-prinsip tata guna tanah. Seperti yang diuraikan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penataan Tanah, pemanfaatan lahan melibatkan pengendalian, pemanfaatan, dan eksploitasi tanah secara adil sebagai sistem yang bersatu untuk masyarakat. Prinsip ini menjadi dasar bagi pendekatan seimbang dalam mengubah lahan pertanian menjadi zona pariwisata.
Penerapan prinsip tata guna tanah menjadi krusial untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Menemukan keseimbangan ini penting untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan lokal. Regulasi ketat dan perizinan adalah prasyarat penting untuk transformasi lahan pertanian menjadi area wisata, memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum dan penerapan prinsip-prinsip tata guna tanah yang benar.
Kerangka hukum untuk transformasi semacam itu tidak hanya terbatas pada regulasi tata guna tanah, melainkan melibatkan undang-undang yang lebih luas, seperti Undang-Undang Pariwisata Nomor 10 Tahun 2009. Hal ini memastikan bahwa konversi ini sejalan dengan tujuan pariwisata berkelanjutan dan tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.
Dalam proses konversi, perizinan dan regulasi memainkan peran kunci. Regulasi yang ketat harus diterapkan untuk menjamin bahwa konversi dilakukan sesuai dengan standar hukum yang berlaku dan mematuhi prinsip-prinsip tata guna tanah yang baik. Perizinan biasanya diberikan oleh otoritas terkait, termasuk departemen perencanaan kota, lembaga pertanian, dan melibatkan pendapat masyarakat setempat.
Transparansi adalah kunci, melibatkan penilaian dampak lingkungan (EIA) dan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan lokal. Pertimbangan kepemilikan adalah integral dalam transformasi ini. Perjanjian dan kontrak yang jelas antara pemilik tanah dan pihak terlibat diperlukan untuk menetapkan hak dan kewajiban terkait penggunaan lahan. Langkah ini menjamin pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan memastikan bahwa pemilik tanah dan masyarakat setempat mengalami dampak positif dari konversi tersebut.
Dalam kesimpulan, konversi lahan pertanian menjadi destinasi wisata memerlukan pendekatan komprehensif yang merangkul prinsip-prinsip tata guna tanah, patuh pada kerangka hukum, dan memajukan kerjasama antar pemangku kepentingan. Dengan mengadopsi strategi holistik ini, kita dapat berharap melihat perkembangan pariwisata yang berkelanjutan, memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal sambil tetap menjaga integritas lingkungan dari area yang telah diubah.
Dalam keberlanjutan progres, mari kita pastikan bahwa setiap benang disusun dengan pertimbangan hati-hati untuk tanah kita, masyarakat kita, dan masa depan bersama kita. (*)