SURABAYA, MEMORANDUM-Anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, secara resmi diusulkan oleh Partai Golkar sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. Usulan ini ditetapkan dalam Rapimnas Partai Golkar, Sabtu, 21 Oktober 2023.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin paman Gibran, Anwar Usman, mengabulkan gugatan mahasiswa asal Surakarta, Solo terkait syarat usia capres-cawapres, sehingga Gibran akhirnya bisa mendaftar meskipun usianya belum 40 tahun.
Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi menyoroti, peristiwa politik ini adalah sesuatu yang amat disayangkan karena memberikan efek buruk bagi demokrasi maupun kontestasi politik dalam banyak hal.
BACA JUGA:Ojol di Surabaya Ini Kirim Makanan ke Wanita yang Sudah Meninggal, Kok Bisa?
Doktor alumnus Murdoch University, Australia, tersebut merinci, setidaknya terdapat lima analisis terkait kontroversi pencalonan Gibran.
BACA JUGA:Keren! Netflix Membuka Pop-Up Cafe Doona! Salah Satunya di Indonesia
Pertama, pemihan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Capres Prabowo Subianto adalah rangkaian yang tak dapat dipisahkan dari kontroversi politik saat keputusan MK menerima gugatan agar mereka yang sedang/pernah menjabat sebagai bupati/walikota maupun gubernur dapat menjadi capres dan cawapres meskipun belum berusia 40 tahun.
“Keputusan itu sendiri menandai terjadinya krisis etika republik, melecehkan etika publik, di mana etika imparsialitas terlanggar dalam keputusan tersebut dan adanya conflict of interest yang muncul ketika Ketua MK Anwar Usman ikut serta memutuskan perkara dengan menerima gugatan,” ujarnya.
Airlangga mengatakan, seperti diketahui ada hubungan kekerabatan antara Ketua MK dan Gibran. Ketua MK adalah adik ipar Presiden Jokowi, yang tak lain adalah paman Gibran, alias Gibran merupakan keponakan ketua MK. Padahal ada etika hakim, bahwa yang memiliki hubungan kekerabatan dalam setiap kasus hukum tidak boleh terlibat dalam pengambilan keputusan hukum,” ujar Airlangga.
“Dari sini maka momen pemilihan pasangan Prabowo-Gibran menjadi penegasan rangkaian penyalahgunaan kekuasaan, ketika hukum menjadi instrumen dari kekuasaan kepentingan politik dominan,” tegasnya.