Penyesalan Ayah yang Anaknya Tenggelam di Dunia LGBT (2)

Senin 30-12-2019,07:12 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Dua Tahun Meninggalkan Keluarga, Jadi Manajer di Luar Pulau Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Sejak itu Fandi keras kepada keluarga. Dia melarang siapa pun memperlakukan Rio seperti perempuan. Tidak Ana. Tidak juga Oma Bunga. Semua pakaian perempuan Rio disumbangkan ke yayasan panti asuhan. Demikian juga boneka dan mainan-mainan bernuansa perempuan lain. Rok Rio diganti celana. Blouse Rio diganti kemeja atau kaus. Semua boneka diganti mobil-mobilan, pistol-pistolan, bola, dsb, dll, dst. Apa pun yang bernuansa perempuan disingkirkan, Di-delete. Sehari-dua hari berjalan lancar. Tapi, suatu hari Rio menangis sangat keras karena mencari boneka kesayangannya tidak ada. “Saya menyodorkan mainan senapan laras panjang, dilotak. Dibanting.” Ana memberi solusi hendak pinjam boneka milik tetangga yang kebetulan seumur dengan Rio. Fandi melarang. Oma Bunga membela Ana dan memaksa pergi ke rumah tetangga untuk meminjam boneka. Fandi tak berdaya. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun ketika melihat Rio dengan ceria menerima boneka Hello Kitty dari neneknya. Fandi bahkan meninggalkan tempat seperti tentara kalah perang. Malam harinya Fandi mengajak istri dan mertuanya berdialog. Intinya, Fandi minta semua harus mengubah sikap dalam memperlakukan Rio. Sebelum terlambat. Tidak boleh ada sikap kasihan dan lain-lain. “Semua menyatakan sepakat di depan saya. Tapi, apa yang ada di hati mereka, saya tidak tahu,” kata Fandi. Yang jelas, setelah itu semua berjalan sesuai keinginan Fandi. Rio pun tampaknya sudah bisa menerima dirinya diperlakukan sebagai lelaki. Sebagai cowok sejati. “Saya gembira. Suatu hari saya ajak dia bermain bola di halaman rumah. Awalnya gembira. Tapi tidak lama. Rio menangis dan memanggil mamanya. Saya biarkan. Mungkin dia lelah. Wong anak kecil. Ya sudah.” Ketika Rio berumur lima tahun, Fandi dipromosikan menjadi manajer. Tidak di Surabaya, tetapi di luar Jawa. Tepatnya di Samarinda. “Saya dijanjikan hanya dua-tiga tahun di sana. Kemudian dikembalikan ke Jawa sebagai kepala cabang,” kata Fandi. Ternyata Ana dan Oma Bunga menolak saat diajak boyongan oleh Fandi. Mereka bertahan tinggal di Surabaya. Fandi yang diminta pulang tiga bulan sekali. Atau bila keberatan, setengah tahun sekali. Setahun sekali pun tidak apa-apa. “Dua bulan di Samarinda, saya diberi tahu kakak Rio bahwa adiknya kembali sering didandani perempuan seperti dulu. Saya marah. Ana saya damprat lewat telepon. Dia mengaku salah dan minta maaf,” kata Fandi. Dua tahun lebih Fandi dikembalikan ke Surabaya. Sebenarnya dia dipromosikan sebagai kepala cabang di Blitar, tapi Fandi menolak. Dia minta ditempatkan di Surabaya saja. Di posisi apa pun. Akhirnya dia ditempatkan sebagai kepala bagian. “Tapi, itu tidak lama. Hanya dua bulan. Manajemen baru kantor pusat di Jakarta memaksa saya berangkat ke Blitar dan memegang kantor cabang di sana. Sejak itu saya pindah ke Blitar dan pulang seminggu sekali,” kata Fandi. Sebenarnya Fandi sudah mengajak keluarga boyongan ke Blitar. Tapi, kembali Ana menolak. Demikian pula Oma Bunga. Alasan mereka, tetangga-tetangga di Surabaya sudah seperti keluarga sendiri. Ribet kalau harus menyesuaikan diri lagi dengan tetangga baru di Blitar. Sampai sekarang Fandi tinggal sendirian di Blitar. Sudah lebih dari 15 tahun. Dia hanya pulang seminggu sekali ke Surabaya. “Sebenarnya saya tidak tahan, tetapi Ana ngotot tidak mau pindah,” kata Fandi. (bersambung)    

Tags :
Kategori :

Terkait