Bambang bagai disuguhi buah simalakama; dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Bingung. Dia mengaku tak rela kehilangan sahabatnya Fadlul, apalagi kehilangan Nindi. Bambang tidak ingin kejadian seperti cinta pertamanya kepada Karlina terulang. Terburu disabet orang lain. Toh begitu, Bambang masih ragu. Belum yakin pada kata hatinya sendiri. Lucu, selanjutnya Bambang malah mengantungkan nasib pada bunyi tokek. Tekek, menerima Nindi sebagai kekasih; tekek, menolak dan menyarankan Nindi jadian sama Fadlul; tekek, menerima; tekek, menolak; tekek, menerima…; teeekek, menolak; teeeeeeekek, menerima… Berhenti! Seperti isyarat yang diperoleh dari tokek, Bambang akhirnya memutuskan menerima rasa sayang Nindi. Menerima cinta Nindi. Maka, sebelum pikirannya berubah, cepat-cepat Bambang meminta orang tuanya melamar Nindi. Tidak pakai lama, dua pekan kemudian Bambang menikah vs Nindi. Tentu saja Fadlul kaget. Mungkin tidak menyangka. Mungkin juga merasa dikhianati. Bukankah Fadlul pernah terang-terangan menyanjung Nindi di depan Bambang? Apakah Bambang tidak mengerti? Setelah pernikahan, kehidupan rumah tangga Bambang vs Nindi berjalan seperti yang diharapkan. Tidak ada sandungan berarti. Tapi, ada satu yang mengganjal di hati Bambang: mengapa Fadlul belum kawin-kawin sampai perkawinannya dengan Nindi memasuki usia lebih dari 10 tahun? Bambang sempat bertanya dalam hati: apakah Fadlul masih terobsesi cintanya kepada Nindi sehingga tidak bisa move on ke lain hati? Bambang juga pernah memberanikan diri menanyakan hal itu kepada Fadlul, tapi tidak dijawab. Tersenyum pun tidak. Wajahnya datar. Ada satu hal lagi yang dirasakan Bambang sebagai kekurangan. Sejauh ini dia dan Nindi belum dikaruniai momongan. Dia gelisah. Tapi, tidak demikian dengan Nindi. Biasa-biasa saja. Diam-diam suatu saat Bambang memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya sangat amat mengejutkan: mandul. Mentalnya jatuh. Tapi, sebaga lelaki, Bambang berniat suatu saat hendak menyampaikan kenyataan ini kepada Nindi. Kemudian mencari solusi bersama. Tapi, niat itu selalu diurungkan. Dia kasihan kepada Nindi, karena perempuan tersebut selalu yakin suatu saat pasti akan bisa hamil. “Sebenarnya saya kasihan dengar keyakinannya itu. Bagaimana mungkin hamil kalau saya mandul?” kata Bambang. Walau begitu, dia tidak tega untuk mematikan harapan istrinya. Meski dengan hati hancur, untuk sementara dia terus membiarkan Nindi menjalani hari-harinya dengan harapan kosong. “Sampai hati saya kuat untuk ngomong,” kata Bambang, yang menambahkan bahwa suatu malam, selesai gituan, pelan-pelan dia membuka omongan soal itu. Tapi, bersamaan dengan itu Bambang yang hendak membuka mulut, Nindi berbisik di telinga Bambang, “Mas, aku hamil.” Tentu saja Bambang kaget. Mana mungkin Nindi bisa hamil kalau dirinya mandul? Bambang kalut. Toh begitu dia berusaha menyembunyikan perasaannya, bahkan berusaha menampakkan kegembiraan. Dirangkulnya Nindi erat-erat tapi sambil berpikir, “Mana mungkin?” (jos, bersambung)
Cinta yang Terakhir Itu juga Cinta Pertamanya (2)
Jumat 25-11-2022,10:00 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :