Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Pemandangan itu melekat sangat kuat dan tampaknya tidak mungkin lepas dari benak Nanang. Yang terjadi justru bayangan-bayangan lanjutan dari sekadar tangan melingkar di punggung driver ojek.
Bukan tidak mungkin terjadi hal-hal yang lebih dari itu. Misalkan Mila merangkul dada Jono dan menyandarkan pipi di punggung pemuda cakep tadi. Atau, bahkan keduanya masuk kamar—entah di mana—dan menuntaskan rindu dendam di antara mereka. Sangat mungkin kan?
Nanang sadar, kalau terus-menerus mengembangkan bayangan buruk di benaknya, bukan tidak mungkin dia bakal terjebak dalam pusaran angan-angan setan. Dan, itu bisa menjurumuskannya ke dunia orang-orang gila. Nanang tidak mau ini terjadi.
Dia berpikir lebih baik mengetatkan pengawasan terhadap Mila dengan sering mampir ke warung. Paling tidak, langkah ini dapat mempersempit ruang gerak istrinya bertindak macam-macam.
Suatu saat Nanang mampir warung dari mengirimkan mencit kepada pelanggan. Ternyata Mila tidak ada. HP-nya tidak bisa dhubungi. Nonaktif. Dikirimi WA, hanya terlihat centang satu.
Dalam kegalauan, Nita, sepupu Mila, mencoba memecah suasana. Dia mengajak Nanang berbincang dan menggiringnya untuk bergurau. Nanang bergeming. Dia malah menanggapi setiap ungkapan Nila dengan satu kata, “Hem,”; “Ya,”; “Tidak.” Itu saja, tidak lebih.
Ketika Nila melontarkan guyonan yang agak menyerempet-nyerempet, Nanang malah diam. Kala itu Nila mengatakan demikian, “Laopo sedih, Mas? Mikiri Ning Mila tah? Opo’o Ning Mila?”
Nanang tidak merespons. Matanya bahkan dipindahkan dari memandang nyala api di kompor ke deretan mobil-mobil yang macet di jalan. “Onok aku, gak usah sedih,” kata janda muda (jamu) itu disertai tawa renyah.
Nanang makin tidak menghiraukan omongan Nila yang bertubuh punel itu. Dia mengangkat pantat dan pindah duduk di bawah pohon depan warung. Udara panas, tapi semilir angin mampu menghapus keringat yang mengucur di sekujur tubuh.
Tak lama kemudian seorang driver ojek mendekat. “Lapo kok raine ditekuk, Mas? Orderan sepi tah? Gak usah sedih, Mas. Kabeh yo susah. Jamane pancen jaman susah,” kata orang tersebut.
“Aku yo sedih, Mas. Kabare ojek online arep dijupuk pemerintah. Di-BUMN-kan. Awak-awak lak nganggur nek ngono. Mosok tukang ojek ae kudu pegawai negeri. Pancen lucu kok pemerintah saiki,” tambah lelaki yang mengaku hanya jebolan SMP itu.
“Sampeyan ngerti bojoku metu ambek sopo?” sela Nanang seperti tidak menghirau omongan driver ojek tadi.
“Biasa, Mas. Metu barek Jono. Paling kulakan nang mBlauran. Pamite nang arek-arek sih ngono, tapi asline yo embuh. Ati-ati Mas ngawasi bojo.”
Kalimat terakhir ini menancap seperti paku berkarat di jantung Nanang. Walau begitu, dia mencoba tersenyum. “Asline onok opo sih bojoku barek Jono?”
“Aki sih gak eruh dewe, tapi arek-arek podo ngomong gak enak soal wong loro iku. Sepurane lho Cak, duduk maksudku manas-manasi Sampeyan,” kata driver ojek tadi, lalu mengelus-elus lutut Nanang. Dari jauh, terlihat Joko membonceng Mila yang mefet rafet bingit. (bersambung)