Satu masalah besar dari dari proses pembelajaran jarak jauh (daring atau online)
adalah pulsa, selain tentu saja jaringannya. Banyak cerita mentrenyuhkan tentang itu. Salah satunya ini: seorang siswa SMP datang ke warnet. Dia dibawai ibunya uang Rp 10 ribu. Dia ingin mengetik sekaligus menge-print tugasnya. "Berapa Mas?" tanyanya kepada petugas yang jaga. "Rp 24 ribu Dik." Tahu, uangnya hanya Rp 10 ribu, dia pamit pulang dan janji akan segera kembali. Tugas yang sudah ditulis tangan, ditaruhnya di warnet.
Seorang yang baik hati yang sejak tadi mengamati dialog itu, berdiri melihat tugas anak itu. Tertulis sangat rapi dengan bahasa yang sangat baik untuk sekelas anak Kelas 1 SMP. "Dia minta petugas itu mengetikkan sekaligus mencetaknya. Nanti saya yang bayari. Tapi, tak usah diomongkan," pesannya.
Tak berapa lama, si anak muncul. "Maaf Mas, kata Ibu, yang dikumpulkan yang saya tulis tangan saja. Nanti Ibu juga akan menulis surat agar diperbolehkan oleh guru karena kakak dan adik saya juga membutuhkan pulsa untuk sekolahnya," katanya. Betapa kagetnya, kalau ternyata tulisan tangannya sudah di-print rapi. "Lho, uang saya tidak cukup Mas?" katanya setengah protes. "Ga apa-apa, tadi sudah ada yang membayari. Tapi, tidak mau menyebut namanya," katanya. Si anak dengan gembira berkata," kalau ketemu orangnya lagi, sampaikan terimakasih kami ya Mas," katanya sambil pamit pulang.
Saya juga punya pengalaman. Ketika diminta memberi kuliah tamu, saya sudah diberitahu kalau sebagian tak bisa ikut karena masalah jaringan internet di wilayahnya di luar pulau. Atau, jangan kaget, kalau pesertanya nanti berkurang karena pulsanya habis di tengah jalan. "Sebetulnya mahasiswa tidak terlalu suka pakai zoom karena menyedot pulsa," kata dosen itu.
Keluhan masal tentang pulsa ini, lalu direspon banyak pihak. Prof Dr Zainudin Maliki, anggota DPR Komisi Pendidikan dari PAN, malah usul langsung ke Mas Menteri Nadiem Makarim agar uang POP (Program Organisasi Penggerak) dialihkan ke pulsa saja daripada kisruh dan berujung mundurnya NU, Muhammadiyah, dan PGRI. Sejauh ini, belum dapat tanggapan cepat tentang masalah yang sangat vital ini.
Kalah cepat dengan "solusi model kampung" yang merespon masalah ini dengan tindakan superkongkrit. Ada kampung di Surabaya yang gotong royong bersedekah pulsa dan menggunakan balai RW untuk dipakai belajar bersama anak-anak SD, SMP dan SMA. Bahkan, yang tidak punya HP dipinjami. Tujuannya anak-anak bisa sekolah secara daring. WIFI dibayar secara urunan oleh warga sekampung.
RT di Kecamatan Tanjungsiang Subang tidak kalah kreatifnya dalam hal bergotong royong pulsa ini. "Kami sepakat urunan. Per hari Rp 1 ribu dan dicantolkan di depan pagar. Setiap bulan terkumpul Rp 1,6 juta. Yang Rp 600 ribu untuk langganan Indihome, yang satu juta untuk kertas, untuk kakak-kakanya yang menunggui proses belajar mengajarnya. Setiap kakak pendamping dikasih Rp 20 ribu. Yang lain lagi untuk beli kertas, jika ada yang ngeprint tugas. Komputer dan printer dibantu oleh warga yang mampu," kata Pak RT. Luar biasa.
Sebuah warkop di Surabaya tak kalah luar biasa. Selain gratiskan wifi untuk siswa, juga membonusi teh hangat gratis. Tulisannya juga menggelitik "Sekolah Yes, Game NO. Free teh hangat. Wifi gratis bagi sekolah online. Persembahan Warkop Pitulikur," kata pemilik warkop yang anaknya juga masih sekolah di SD dan SMP ini. "Saya diceritain anak saya yang temannya banyak kesulitan pulsa, saya suruh ke sini saja. Gratis," katanya.
Siapa bilang gotong royong sudah luntur? Lihatlah "pengorbanan" mereka. Solusi model rakyat yang sangat kongkrit, tidak di awang-awang dan zero kisruh. Salam!
Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)