Nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, kembali memenuhi ruang pemberitaan. Isu demi isu berlapis. Padahal, badai sebelumnya belum sepenuhnya reda. Tes DNA telah bicara. Tidak ada hubungan spesial. Tapi klarifikasi sering kalah cepat dari gosip.
BACA JUGA:Datang Diam-diam, Pulang Membawa Nama Besar
Kini muncul lagi nama lain. Isu lain. Narasi baru.
Linimasa pun kembali panas.
BACA JUGA:Indonesia Emas Tak Akan Lahir dari Generasi Narkoba
Pertanyaannya bukan sekadar soal benar atau salah. Bukan pula tentang siapa yang paling dirugikan. Yang patut direnungkan justru ini: mengapa kita begitu mudah berpindah fokus? Mengapa bencana yang merenggut rumah dan harapan bisa kalah ramai dibanding gosip yang belum tentu substansial?
BACA JUGA:Dari Gatotkaca ke Maung
Lebih jauh lagi, kegaduhan publik ini merembes ke ruang yang paling privat: keluarga. Sang istri memilih jalur hukum. Perceraian diproses di Pengadilan Negeri Bandung. Sebuah keputusan personal yang seharusnya dihormati, bukan dijadikan konsumsi tanpa batas.
BACA JUGA:Intelektual Pun Bisa Jadi Korban Bully
Di sinilah ironi akhir tahun itu terasa lengkap.
Alam berduka.
Manusia membara.
BACA JUGA:Mereka yang Tak Kembali
Kita menangis melihat bencana, tetapi tetap gemar mengadili kehidupan orang lain. Kita mengutuk kerusakan lingkungan, namun tak berhenti memberi panggung pada kegaduhan. Kita menuntut empati, tapi sering lupa memilikinya.
BACA JUGA:Cangar atau Sangar, Bedanya? Nyawa
Pergantian tahun seharusnya menjadi jeda. Bukan hanya pesta. Bukan hanya hitung mundur. Tapi kesempatan untuk menurunkan volume. Mendengar lebih jernih. Bertanya lebih dalam.