Anak Jadi Korban: Cinta Harus Tetap Ada (3)

Rabu 10-12-2025,09:00 WIB
Reporter : Anis Tiana Pottag
Editor : Ferry Ardi Setiawan

HUJAN turun perlahan di luar jendela. Dira duduk bersila di lantai, di antara dua tumpukan kertas. Satu tumpukan penuh dengan gambar-gambar masa kecilnya bersama Mama dan Papa. Yang satu lagi adalah tugas sekolah bertema “Keluarga Impianku.”

Ia menatap dua tumpukan itu lama, lalu menulis:

“Keluarga impianku adalah keluarga yang saling mendengarkan. Yang walaupun tidak satu rumah, tapi tetap satu hati.”


Mini Kidi--

Sementara itu, di ruang yang berbeda, Bulan dan Bintang ikut membaca tulisan Dira karena gurunya membagikannya lewat grup orang tua murid. Hening. Air mata tak bisa mereka bendung.

“Kita terlalu sibuk jadi orang yang paling benar,” kata Bulan lirih.

“Sampai lupa jadi orang tua yang benar,” jawab Bintang, menatap layar sambil mengelus dada.

Bukan Tentang Siapa yang Salah, Tapi Tentang Siapa yang Mau Dewasa

Dulu, ego jadi panglima. Semua keputusan diambil dengan dasar perasaan yang tersakiti, bukan kebutuhan anak yang terlindungi. Mereka membiarkan amarah berbicara lebih dulu sebelum kewarasan mengambil peran. Dan Dira? Jadi penonton di tengah pertunjukan emosi orang tuanya.

Kini, setelah waktu, dialog, dan bimbingan, mereka mulai memahami bahwa membangun rumah tangga itu tidak selalu berarti tinggal di bawah atap yang sama. Tapi soal bagaimana menjaga cinta tetap hangat di hati anak, meski relasi pasangan telah usai.

Edukasi untuk Para Orang Tua: Refleksi Bintang dan Bulan

Suatu hari, mereka diundang sekolah Dira untuk menjadi narasumber dalam talkshow bertajuk “Co-Parenting di Era Modern.” Awalnya ragu, tapi akhirnya mereka berdiri di panggung kecil depan puluhan orang tua lainnya.

“Kami bukan pasangan ideal,” buka Bintang jujur.

“Tapi kami belajar menjadi orang tua yang sadar. Sadar bahwa anak tidak pernah minta dilahirkan dalam konflik.”

“Karena itu sekarang, kami belajar menomorduakan luka, dan menomorsatukan Dira.”

Kategori :