BACA JUGA:Mereka yang Tak Kembali
Lalu lihatlah peta Jawa Timur.
Di sana, titik-titik merah kasus korupsi kepala daerah berserakan:
Pamekasan (Achmad Syafii), Jombang (Nyono Suharli Wihandoko), Mojokerto (Mustofa Kamal Pasa dan Mas’ud Yunus), Tulungagung (Syahri Mulyo), Probolinggo (Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin), Batu (Eddy Rumpoko), Malang (Mochammad Anton), Blitar (Samanhudi Anwar), hingga Pasuruan (Setiyono).
Kalau dibuat peta digital, mungkin akan tampak seperti bintang-bintang di langit malam—terang, tapi ironis.
BACA JUGA:Cangar atau Sangar, Bedanya? Nyawa
KPK seakan tak pernah bosan datang ke Jawa Timur.
Mungkin karena di sinilah “lahan empuk” itu tumbuh subur.
Para pejabatnya kreatif, inovatif — tapi sayang, inovasinya di bidang yang salah.
Dari manipulasi hibah, mark-up proyek, hingga jual beli jabatan, semuanya dijalankan dengan penuh perencanaan. Profesional. Sistematis. Rapi.
Kalau saja energi dan kecerdasan itu dipakai untuk membangun daerah, mungkin Jawa Timur sudah setara dengan Tokyo.
BACA JUGA:Tepuk Tangan untuk Janji Suci
Tapi mungkin juga, di balik semua ini, ada faktor lain: rasa aman.
Banyak kepala daerah merasa cukup pintar untuk tak tertangkap.
Atau merasa cukup dekat dengan kekuasaan pusat, sehingga yakin bisa lolos.
Namun seperti yang sudah sering terjadi, KPK punya cara sendiri untuk muncul tanpa undangan.