Anehnya, kegaduhan baru muncul setelah ibadah haji selesai. Padahal saat di lapangan, anggota DPR yang bertugas mengawasi pelaksanaan haji juga menggunakan fasilitas tenda di maktab 111 — salah satu zona favorit yang dikenal sebagai area haji khusus. Pertanyaannya, jika mereka menginap di maktab tersebut, kuota apa yang sebenarnya mereka gunakan?
Tentu publik berhak bertanya tanpa bermaksud menuduh. Sebab transparansi dan konsistensi justru menjadi kunci menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik.
Haji Khusus= Solusi
Dalam kondisi darurat kuota, haji khusus justru menjadi solusi, bukan pesaing. Keberadaan PIHK membantu negara dengan menanggung seluruh biaya operasional, tanpa subsidi dari APBN maupun nilai manfaat BPKH.
Bahkan secara ekonomi, menambah porsi haji khusus berarti mengurangi beban subsidi haji reguler dan meningkatkan devisa dari sektor jasa.
Selain itu, dengan pembagian kuota yang lebih proporsional, penumpukan di Mina dapat dihindari, keamanan jemaah lebih terjamin, dan pelayanan di dua kategori haji bisa lebih optimal.
Kesimpulan
Berdasarkan data dan fakta tersebut dapat dipahami, bahwa tudingan yang menyatakan haji khusus telah “mengambil” hak haji reguler adalah tidak memiliki dasar hukum maupun logika teknis.
Kuota tambahan dibagi bukan karena keserakahan, tetapi karena pertimbangan keselamatan, efisiensi, dan kesepakatan antarnegara.
Haji khusus tidak mengurangi hak jemaah reguler sedikit pun. Sebaliknya, ia hadir sebagai jalan alternatif yang membantu negara mengelola jamaah lebih aman, hemat, dan bermartabat.
Dalam semangat itu, seharusnya publik berhenti mencurigai, dan mulai memahami bahwa pelayanan kepada tamu Allah tidak bisa dipolitisasi, tapi perlu didukung dengan keadilan dan kebijaksanaan. *
Penulis: Ahmad Bajuri, M.Ag, Ketua Forum Komunikasi Pimpinan Travel Umrah Haji (FK Patuh) Jawa Timur) dan juru bicara TPPI (Tim Penyelamat PIHK Indonesia).