Satu tahun. Dalam lintasan kekuasaan, ia hanyalah sekerjap mata, namun cukup untuk menampakkan bayangan dan bayang-bayang.
Kita kini berada di tengah perayaan—sekaligus perdebatan—mengenai satu tahun pemerintahan baru, di mana angka statistik beradu keras dengan kenyataan di lapangan.
Pusat wacana, mau tidak mau, jatuh pada Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini, pada dasarnya, adalah sebuah upaya populisme yang paling elementer dan paling jujur: mengisi perut.
Dalam filsafat politik, perut adalah titik nol, di mana segala ideologi bertemu dengan kebutuhan. Memberi makan adalah tindakan primordial, yang secara instan membangun ikatan antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
BACA JUGA:Pelabuhan dan Angka yang Senyap
BACA JUGA:Delapan Dekade Harapan
Namun, di sini letak ironi yang kerap luput dari perayaan.
Ketika angka-angka keberhasilan dikumandangkan—jutaan porsi tersalur, persentase keracunan yang diklaim 'sangat kecil'—kita sedang dihadapkan pada sebuah upaya untuk menciptakan ilusi kesempurnaan.
Angka, sebagaimana kita tahu, adalah entitas yang dingin dan netral. Ia tidak mengenal air mata, tidak mencatat detail rasa mual setelah mengonsumsi makanan yang kurang layak, atau logistik distribusi yang chaos.
Seorang penyair pernah berkata, kesempurnaan adalah kebohongan yang paling indah. Dalam konteks MBG, ilusi ini adalah bahwa sebuah program masif yang ambisius bisa dieksekusi tanpa cacat, tanpa noise, tanpa "kebisingan" dari delapan ribu kasus keracunan. Delapan ribu jiwa yang harus menderita, hanya agar statistik bisa mencatat angka keberhasilan 99,99%.
Apakah kita, sebagai bangsa, rela menukar etika pertanggungjawaban dengan kemegahan statistik?
Pemerintahan baru ini, yang diyakini tegak di atas konsolidasi kuat, menunjukkan gejala klasik: kecepatan di atas kehati-hatian. Ambisi untuk segera melihat hasil, untuk membuktikan janji, membuat detail-detail penting—seperti pengawasan mutu makanan dan sanitasi dapur massal—tertabrak oleh laju roda kebijakan.
BACA JUGA:Sebuah Negeri di Atas Kertas
BACA JUGA:Dulu Sekutu, Kini Seteru
Di balik klaim bahwa program ini berhasil menggerakkan ekonomi daerah, kita harus bertanya: apakah gerakan ekonomi itu menghasilkan berkah yang merata, ataukah hanya rent seeking baru, yakni pemburu rente yang mencari keuntungan dari pengadaan bahan baku massal yang tergesa-gesa?
Ini bukan soal meniadakan niat baik. Niat, dalam politik, selalu berwarna abu-abu. Ini soal martabat. Martabat sebuah bangsa diukur bukan dari seberapa besar program yang bisa diluncurkan, melainkan dari seberapa kecil toleransinya terhadap kesalahan yang berdampak pada rakyat kecil.
Tugas para pemimpin bukanlah untuk menciptakan ilusi zero error. Itu utopia. Tugas mereka adalah berani menghadapi error itu, mencatatnya dengan jujur, dan memperbaikinya dengan rendah hati. Jika setiap kesalahan dijadikan panggung untuk membela statistik, maka kita sedang menuju sebuah tatanan di mana nasi yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, hanya menjadi pakan bagi mesin birokrasi yang gemuk.
Maka, setelah satu tahun, mari kita hentikan sejenak perayaan dan hitungan. Mari kita dengarkan suara perut yang kosong, atau lebih pedih lagi, perut yang sakit. Sebab, di situlah letak kebenaran yang tidak bisa dicatat oleh tabel Excel manapun.