Dalam sebuah pertemuan yang mungkin lebih pantas disebut sebagai dialog dua filsuf yang kebetulan menjadi pemimpin negara, Putin dan Xi suatu kali membicarakan hal yang seakan terambil dari novel fiksi: umur panjang hingga 150 tahun. Percakapan itu, yang bocor ke ruang publik, bukan sekadar obrolan santai. Ia adalah jendela—atau mungkin cermin—dari hasrat manusia paling purba: mengalahkan maut.
Kini, dari negeri yang sama, Rusia, datanglah sebuah ‘utusan’ baru: Enteromix, vaksin kanker berbasis mRNA yang mengklaim efektivitas dan keamanan 100 persen. Sebuah angka yang terdengar seperti kidung sirena di telinga dunia kedokteran—terlalu indah untuk menjadi nyata. Dan ia memilih Indonesia sebagai tanah uji coba. Ada yang ironis di sini: di negeri yang sistem kesehatannya masih berdarah-darah melawan penyakit-penyakit dasar, kita tiba-tiba disuguhi teknologi paling mutakhir untuk memerangi salah satu pembunuh paling canggih.
BACA JUGA:Dunia Berkubu dalam Bayangan Senjata
Mini Kidi--
Veronica Skvortsova dari FMBA menyebutnya "siap untuk praktik klinis," seperti seorang dalang yang memperkenalkan wayang terbarunya di panggung St. Petersburg International Economic Forum. Vaksin ini, katanya, bukan hanya mengecilkan tumor tapi juga bisa dipersonalisasi sesuai RNA masing-masing pasien—sebuah pendekatan yang elegan, seperti menjahitkan pakaian yang pas untuk setiap tubuh.
Tapi, seperti segala sesuatu yang lahir dari ambisi manusia, ia datang dengan segudang tanya. Angka 100 persen itu sendiri adalah pernyataan yang berani—terlalu berani—dalam dunia ilmu pengetahuan yang biasanya berjalan dengan bahasa probabilitas dan margin of error. Dunia ilmiah, yang bergerak lamban dan penuh hati-hati, tentu saja menyipitkan mata. Apalagi sample uji coba yang hanya 48 relawan—jumlah yang terbilang kecil untuk mengklaim kemenangan mutlak atas musuh sekompleks kanker.
BACA JUGA:Mendengarkan Héctor Lavoe, Melihat Dunia Bekerja
Kedua, adalah soal konteks. Indonesia, dengan segala keindahan dan chaos-nya, bukanlah laboratorium steril. Ia adalah hidup itu sendiri—rawa-rawa tempat penyakit, kemiskinan, dan kekurangan berkelindan. Mengujicobakan teknologi tinggi di tengah carut-marut sistem kesehatan adalah seperti menanam anggrek di tengah badai. Apalagi ketika IDI menyuarakan kritiknya—suara yang perlu didengar, bukan sekadar ditempatkan sebagai penghalang kemajuan.
Namun, teknologi Enteromix patut disimak: empat virus tidak berbahaya yang dikerahkan seperti pasukan khusus untuk menghancurkan tumor. Mirip dengan pendekatan vaksin COVID-19, tapi lebih personal, lebih pintar. Ia bekerja seperti pelatih yang mengajarkan sistem imun mengenali musuh dalam selubung kawan—sesuatu yang selama ini menjadi kelemahan utama tubuh dalam melawan kanker.
BACA JUGA:Membaca Puing di Hari Maulid
Tapi, mungkin di situlah letak pesonanya. Ambisi Putin untuk mencapai umur 150 tahun dan vaksin kanker buatannya adalah dua sisi dari mata uang yang sama: keinginan untuk melampaui batas. Sejarah manusia, pada akhirnya, adalah cerita tentang perlawanan terhadap keterbatasan. Kita membangun piramida untuk menantang langit, kita menciptakan mesin untuk menaklukkan waktu, dan kita meracik obat untuk mengusir sakit.
Vaksin kanker Rusia yang diujicoba di Indonesia mungkin akan gagal. Atau mungkin berhasil. Tapi yang pasti, ia adalah bagian dari narasi besar itu. Narasi tentang manusia yang—dengan segala kecerdikan dan keangkuhannya—tak pernah berhenti memperpanjang tapal batas hidupnya.
Di sudut lain dunia, dua presiden berbicara tentang hidup 150 tahun. Di sini, di tanah air, para ilmuwan dan relawan bersiap menguji vaksin yang bisa mengubah wajah kanker selamanya. Keduanya adalah anak kandung dari mimpi yang sama: bahwa suatu hari nanti, maut bukan lagi takdir, tapi pilihan.
BACA JUGA:Zaman Kabar Kabur
Dan seperti selalu, dalam setiap lompatan manusia, ada harapan, ada keraguan, dan ada etika yang harus dijaga. Sebab, hidup yang panjang hanya berarti jika diisi dengan kebijaksanaan. Tanpa itu, umur 150 tahun bukanlah berkat, melainkan kutukan—sebuah pengembaraan tanpa ujung dalam labirin yang kita sendiri tak paham artinya.