Oleh: Dahlan Iskan
Ia muda. Ganteng. Kaya. Jadi idola anak-anak muda.
Itulah salah satu peserta Pemilu di Thailand. Dua minggu lagi. Tepatnya 24 Maret.
Penguasa sekarang lagi terus cari akal: bagaimana menghadangnya. Dicarilah kesalahannya. Ketemu. Pernah bikin ujaran kebencian. Di medsos. Terhadap kerajaan.
Jadilah perkara. Hampir saja ditahan. Sampai datanglah berita gembira. Dua hari lalu. Ia tidak akan ditahan. Meski perkaranya tetap akan dijalankan.
Nama tokoh muda itu Thanathorn. Umur 40 tahun. Bos besar grup usaha Summit. Bidang usahanya suku cadang mobil. Produsen spare part terbesar di Thailand.
Sebenarnya ayahnya yang mendirikan usaha itu. Tapi sang ayah meninggal. Saat Thanathorn masih kuliah doktoral di Amerika. Untung dua gelar sudah didapatnya di sana.
Ia pulang. Memimpin usaha bapaknya. Tapi ia lebih berminat ke politik. Sejak terjadi kudeta militer tahun 2014. Kudeta yang mengakhiri kepemimpinan nasional keluarga Taksin Shinawatra.
Jadilah Prayut Chan-o-cha, sang pemimpin kudeta itu, perdana menteri baru. Jendral angkatan darat.
Prayut menjanjikan pemulihan demokrasi segera. Menjanjikan Pemilu pada 2015. Tapi sampai awal 2017 janji itu tidak bertulang.
Pemerintahan masih sibuk membidani perubahan UU Pemilu. Yang hasilnya sangat baik: bagi dirinya.
Thanathorn sudah terlanjur mendirikan partai baru: Partai Kemajuan Masa Depan. Menyerahkan perusahaannya kepada profesional. Partainya mau ikut Pemilu yang dijanjikan.
Setelah sistem Pemilu diperbaharui diumumkanlah tiba-tiba: 24 Maret 2019. Sebagai hari Pemilu yang telah lama dijanjikan itu. Yang tidak terasa sudah lima tahun berlalu.
Meski waktunya mepet Thanathorn cepat populer. Anak-anak muda memberinya nama Sugar Daddy. Yang dalam sekejap menjadi Cameo. Apalagi di kalangan emak-emak Thailand. Mereka pada kirim Line ke Thanathorn. Dengan bunyi ‘Fah love Daddy’.
Kata-kata itu diambil dari sinetron yang lagi top di kalangan wanita di sana. Tentang seorang buruh wanita miskin. Yang mendapat jodoh orang kaya nan baik hati.
Gilanya, Thanathorn bisa membuat emak-emak itu tambah gila. Sesekali Thanathorn membalas Line mereka: ‘Daddy love Fah too’.
Di Thailand sebagian besar orang menggunakan Line. Bukan WA. Atau WeChat.
Posisi Thanathorn menjadi ancaman bagi incumbent.
Sampai akhirnya tersandung ujaran medsos itu. Popularitasnya berhasil dimerosotkan. “Tapi saya tetap akan pilih Thanathorn,” ujar sopir yang mengantar saya kembali ke Bangkok. Setelah beberapa jam mampir ke Pattaya. “Saya ingin Thailand memiliki wajah baru,” tambahnya.
Saya pun minta mobilnya diminggirkan. Agar saya bisa memotret baliho wajah Thanathorn. Yang banyak dipasang di sepanjang pinggir jalan menuju Bangkok. Ia kelihatan senang. Saya pun memotret lebih banyak tokoh pilihannya. No. 9.
Thanathorn memang membawa ‘masa depan’. Ia berjanji akan memperjuangkan misi partai zaman dulu. Yang di tahun 1932 berhasil mengubah Thailand. Dari sistem kerajaan totaliter. Ke kerajaan demokratis: tetap ada raja, tapi memiliki parlemen dan kepala pemerintahan.
“Saya akan menuntaskannya,” ujar Thanathorn.
Kata ‘menuntaskannya’ itulah yang jadi persoalan di medsos. Itu ditafsirkan sebagai akan menghilangkan raja. Menjadi demokrasi penuh.
Padahal di Thailand ada UU yang melindungi raja. Jangankan akan menghilangkannya. Mengeluarkan kata tidak sopan terhadap raja saja harus masuk penjara.
Karena itu kelakuan sssttt...! Raja Thailand yang sekarang ini tidak pernah muncul di media. Termasuk media sosial. Padahal sssttt...!-nya bukan main.
Minggu depan juga akan ada perkembangan baru: putusan mahkamah konstitusi.
Pemilu tinggal dua minggu lebih. Banyak kemungkinan terjadi. Tapi Prayut kemungkinan tetap menang. Menjadi perdana menteri lagi. Kali ini hasil Pemilu. Dianggap sudah sesuai dengan azas demokrasi.
Apalagi partai oposisi utama juga tersandung masalah. Dianggap melanggar konstitusi: menyeret keluarga kerajaan ke dalam politik. Yakni saat partai itu mencalonkan kakak perempuan raja.
Minggu depan partai itu akan menerima vonisnya. Oleh pengadilan konstitusi. Dilarang ikut Pemilu.
Sampai dengan putusan itu partai tersebut tetap berjuang. Sabtu kemarin masih kampanye besar di Bangkok.
Di Thailand calon perdana menteri sudah harus diumumkan. Bersamaan dengan pendaftaran partai. Calon itu tidak harus pimpinan partai. Bahkan tidak harus anggota partai.
Prayut, misalnya, bukan anggota partai. Hanya dicalonkan oleh partai baru Palang Pracharat.
Everyone love Daddy, tapi nasib kelihatannya memihak Prayut.(*)