SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Pilkada Surabaya yang hanya menghasilkan calon tunggal memantik akademisi untuk bicara. Seperti yang disampaikan pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Satria Unggul Wicaksana, pesta demokrasi tak lagi menjadi menarik ketika lawannya adalah kotak kosong. Bahkan fenomena ini memicu perilaku koruptif.
"Calon tunggal terutama dari petahana bisa memicu politik transaksional. Apalagi yang mendapat dukungan absolut atau penuh dari seluruh partai politik seperti di Surabaya,” kata Satria, Senin, 30 September 2024.
Seperti diketahui, Eri Cahyadi-Armuji merupakan paslon tunggal dalam Pilkada Surabaya. Sebagai petahana, Eri-Armuji kembali maju dengan dukungan besar dari berbagai partai politik yang melawan kotak kosong.
BACA JUGA:Dukungan Kotak Kosong Menguat, Tim Pemenangan Eri-Armuji Tidak Risau
Satria yang juga Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (Pusad) UM Surabaya berpendapat, kondisi tersebut sama halnya dengan adagium Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton).
Yakni, power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutety atau kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
”Saya curiga dukungan absolut memicu perilaku koruptif,” ujar Satria yang juga ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) ini.
BACA JUGA:Masa Kampanye Dimulai, PDI-P Surabaya Tempel Stiker Risma-Gus Hans dan Eri-Armuji ke Rumah Warga
Dia menjelaskan, dalam penelitian yang telah dilakukan Pusad, kecenderungan koruptif terjadi karena kontestasi berkelindan dengan kebutuhan logistik atau biaya yang tinggi.
Misalny, untuk pemilihan kepala desa di Jatim, seorang calon rata-rata mengeluarkan biaya Rp 2-3 miliar.
“Untuk bupati atau wali kota, biaya politik yang dikeluarkan bisa menembus Rp 100 miliar, terutama untuk honor saksi, kampanye, dan mobilitas massa," ungkapnya.
BACA JUGA:Helat Sicita, Kader Banteng Mulyorejo Komitmen Menangkan Risma-Gus Hans dan Eri-Armuji
Menurut penjelasannya, di Surabaya sebagian warga berstatus crazy rich. Artinya, para naga bisnis atau konglomerat mampu membiayai calon politik. Akan tetapi dengan konsekuensi diakomodasi kepentingannya yang bisa menjerat penguasa menjadi korup.
Satria menilai, maraknya fenomena kotak kosong di berbagai wilayah mencerminkan kemunduran demokrasi. Sebab masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang tidak ideal.
"Bisa dikatakan ini sebuah kemunduran demokrasi, karena proses kompetisinya hilang. Padahal seharusnya masyarakat bisa melihat adu pemikiran, gagasan, dan rancangan program. Nah kalau kotak kosang kan menjadi tidak ada,” pungkasnya.(bin)