Hal demikian terjadi begitu liar karena benteng kebijakan dan regulasi peruntukan ruang di Provinsi Jawa Timur hingga kini tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan masyarakat, khususnya di area pembangunan dan industri ekstraktif.
Hingga kini Perda RTRW Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 masih banyak memuat alokasi ruang yang diperuntukkan pertambangan minyak bumi, pertambangan mineral, dan pertambangan gas serta geothermal (panas bumi) dengan luasan lebih dari 67.000 hektare.
Berkaitan dengan hal ini pula Walhi Jatim mencatat sebanyak 600.000 hektare lebih luasan lahan yang mengantongi izin tambang yang telah beredar di kawasan Jawa Timur, baik yang bersifat IUP produksi, maupun proses penetapan wilayah pertambangan.
BACA JUGA:Harta Kekayaan Luluk Nur Hamidah, Cagub Jatim dari PKB
Lebih spesifik, pada pasal 12 Perda RTRW Provinsi Jawa Timur memuat wilayah pertambangan yang masuk pada nomenklatur kawasan budidaya. Hal demikian tentu tidak tepat, tambang adalah kegiatan ekstraksi yang banyak menggerogoti saripati bumi, sedangkan budidaya adalah kawasan yang memang diperuntukkan sebagai lumbung kelestarian alam.
Tak hanya itu, beberapa industri seperti perumahan, infrastruktur publik, dan beberapa bangunan pertahanan keamanan juga masuk dalam kategorisasi tersebut.
Termasuk juga apa yang tertuang pada pasal 76, yang mengejawantahkan bahwa hampir semua wilayah di Jawa Timur masuk kawasan pertambangan logam, pertambangan mineral, pertambangan minyak, pertambangan gas serta geothermal (panas bumi).
Pasal ini jelas kontradiktif dengan pernyataan pasal 71 tentang pangan, serta pasal 72 yang memuat kepentingan pengembangan holtikultura. Peruntukan wilayah pertambangan ini juga tumpang tindih dengan ketentuan pasal 54 tentang rencana kawasan lindung, pasal 55 tentang kawasan lindung, pasal 56 tentang kawasan perlindungan setempat, serta pasal 57 tentang wilayah konservasi.
BACA JUGA:Profil dan Harta Kekayaan Pj Sekdaprov Jatim Bobby Soemiarsono
Persoalan regulasi peruntukan ruang ini juga terlihat jelas dalam pasal 121-122 yang justru membuka kawasan hutan (termasuk hutan lindung) sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi alias ditambang. Hal ini semakin dipertegas dalam poin 4-5 pasal 132 yang membahas arahan zonasi pertambangan dan energi. Poin ini memperjelas bahwa pertambangan dan penelitian serta upaya pengembangan infrastruktur dapat dilakukan di kawasan hutan.
Sampai disini, PKC PMII Jawa Timur semakin mempertegas pesannya terhadap para srikandi yang sedang berkontestasi pada momen elektoral tahun ini, bahwa selama ini industri ekstraktif pertambangan di Jawa Timur seringkali banyak terfasilitasi oleh regulasi dan kebijakan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan serta kepentingan masyarakat luas.
BACA JUGA:Palang Merah Jepang dan PMI Jember Kolaborasi Tingkatkan Kesiapsiagaan Megathrust
Srikandi Cagub Jawa Timur dan Komitmen Ekologis.
Nama pertama yang muncul dalam kontestasi pilgub Jawa Timur kali ini tentu adalah Khofifah Indar Parawansa yang merupakan petahana sejak 2019 silam dengan wakilnya Emil Elestianto Dardak.
Kedua yakni Tri Rismaharini yang juga bukan sosok baru dalam kancah politik daerah bahkan nasional, sosok mantan Wali Kota Surabaya sekaligus Menteri Sosial Kabinet Indonesia Maju ini menggandeng KH Zahrul Azhar Asumata.
Ketiga yakni Luluk Nur Hamidah yang merupakan mantan anggota DPR (2019-2024) ini juga menggandeng Lukmanul Hakim.