Sekelompok orang yang mengaku rakyat kecil menggugat Yayasan CHHS. Undangan persidangan atau relaas, tidak pern ah diterima oleh pihak Yayasan. Persidangan gugatan itu dipimpin oleh hakim Itong Isaneni Hidayat yang belakangan tertangkap tangan menerima uang suap dan korupsi dalam kasus lain. Itong dipidana akibat terbukti korupsi.
Persidangan sengketa tanah milik yayasan itu berlangsung singkat pada tahun 2021. Dalam waktu persidangan kurang dari sebulan, majelis hakim yang dipimpin Itong membatalkan empat sertifikat tanah atas nama yayasan dan mengabulkan permintaan penggugat. Tidak lama setelah putusan itu, para penggugat mengeksekusi dan menguasai tanah yang jadi objek sengketa.
Belakangan yayasan melakukan perlawanan hukum dan memenangkan kembali haknya melalui peninjauan kembali yang diproses di Mahkamah Agung. Tetapi ketika yayasan akan mengambil kembali haknya atas tanah itu, ternyata tanah tersebut sudah dijual kepada seorang pengacara muda bernama Afrik. Sampai sekarang Yayasan CHHS belum berhasil mendapatkan kembali haknya walaupun secara hukum sudah memenangkan kembali perkara itu,
Afrik selaku pembeli lahan itu malah menggugat yayasan an memenangkan gugatannya di tingkat pengadilan negeri. Yayasan mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur menyatakan Yayasan adalah pemilik sah atas empat bidang lahan yang jadi objek sengketa. Saat berita ini diturunkan, kasus gugatan sengketa tanah yang diajukan Afrik masih dalam tahap kasasi.
PTUN Surabaya
Dalam semua persidangan dengan objek perkara Persil 186, Klas D.II, Mulya Hadi dkk selalu mengaku sebagai orang kecil yang tidak mengalami pendidikan yang cukup. Penelusuran Redaksi ....... menunjukkan sebetulnya Mulya Hadi dkk sudah menyiapkan langkah-langkah yang terencana sejak lama buat merebut tanah-tanah itu. Pertengahan Desember 2015. Mulya Hadi dkk mendaftarkan perkara gugatan Nomor 280/P/2015/PTUN.Sby di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.
Dia minta agar hakim PTUN memerintahkan Lurah Lontar (pada waktu itu) agar menerbitkan surat keterangan kepemilikan tanah sekitar 10.000 m persegi di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya. Katanya kepemilikannya atas tanah itu tercantum dalam Petok D No 805 Persil 65 D-II.
Mulya Hadi dkk dalam sidang PTUN perkara no 280/P/2015/PTUN.Sby mengaku berusaha melengkapi persyaratan buat mengurus sertifikat tanah tersebut di Kantor Pertanahan Surabaya. Dokumen itu kemudian dijadikan sebagai objek jual-beli dengan Stefanus Sulayman dan dengan PT Bina Mobira Raya.
Belum lma ini, putusan PTUN Surabaya Nomor 171/G/2023/PTUN.SBY membatalkan sejumlah dokumen yang diterbitkan oleh Lurah Lontar. Dokumen-dokumen itulah yang digunakan ahli waris Randim menggugat Widowati dan yang diminta Bareskrim dari pihak Pengadilan Negeri Surabaya.
Mafia Tanah
Lalu, tahun 2021 melalui gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya, ahli waris Randim meminta agar transaksi dengan Sulayman dibatalkan.
Majelis hakim yang dipimpin Itong Isnaeni mengabulkan gugatan Mulya Hadi dkk dan pengadilan menyatakan tanah tersebut adalah milik Mulya Hadi.
Setelah mendapat putusan pengadilan yang berisi kepemilikan itu, ahli waris Randim kemudian menggugat Yayasan. Kebetulan sidang gugatan kepada Yayasan CHHS juga dipimpin oleh Itong Isnaeni.
Tidak lama kemudian, Mulya Hadi juga menggugat Widowati yang membeli tanah dari PT Darmo Permai. Menggunakan surat keterangan dari Lurah Lontar, Mulya Hadi dkk memenangkan kepemilikan atas tanah-tanah bersertifikat yang dijadikan objek sengketa.
Berbagai pihak menyoroti kasus ini sebagai contoh kegiatan Mafia Tanah. Terindikasi secara jelas adanya persekongkolan jahat sekelompok mafia tanah guna mengangkangi hak pemilik tanah yang sah.
Terlihat sekelompok ahli hukum dan pemodal yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah.