Revisi Kedua UU ITE Disahkan, Pakar Komunikasi UNAIR Kritisi Perubahan
Prof Dr Henri Subiakto Drs SH MSi sebagai Pakar Komunikasi Universitas Airlangga. --
SURABAYA, MEMORANDUM-Presiden Jokowi sahkan Undang Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini disahkan pada 2 Januari 2024 lalu, setelah sebelumnya disahkan oleh DPR RI pada 5 Desember 2023.
Pakar Komunikasi Universitas Airlangga, Prof Dr Henri Subiakto Drs SH MSi mengungkapkan bahwa revisi kedua UU ITE ini menyangkut perubahan pada 14 pasal dan tambahan 5 pasal baru. Ia menyebutkan bahwa tidak ada satu pasal pun di UU ITE yg menjerat kebebasan berpendapat, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir pendapatnya dibatasi.
“Seringkali kesalahan terjadi bukan karena UU ITE, melainkan penafsiran yang keliru oleh para penegak hukum. Interpretasi yang salah ini bisa saja terjadi karena hanya merujuk pada UU ITE saja, padahal diperlukan kajian pada pasal dalam KUHP ataupun Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri,” kata Prof Dr Henri Subiakto, Jumat, 12 Januari 2024.
BACA JUGA:Pakar Unair Beberkan Dua Alasan Permohonan PKPU ke Antam Kurang Tepat
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu menyampaikan bahwa pada revisi kedua ini tercantum pengertian norma yang lebih rinci dan mendetail. Hal ini mengurangi kesalahan tafsir karena UU ITE harus merujuk pada peraturan lain sebagai genuine norm.
BACA JUGA:Sebar Ujaran Kebencian di Medsos, Sopir Truk Ayam Dijerat UU ITE
Meskipun telah tercantum berbagai perubahan yang lebih mendetail, Prof Henri Subiakto menyebutkan bahwa terdapat beberapa pasal yang perlu dikritisi kembali. Sebut saja pasal 27 ayat 1 yang terdapat tambahan diksi ‘untuk diketahui umum’. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk penyusupan nilai liberalisme.
“Ini berkaitan dengan pelanggaran kesusilaan, kita ambil contoh pornografi. Pada perubahan terbaru ini penyebaran pornografi akan semakin sulit dijerat oleh UU ITE karena hanya berlaku jika penyebaran terjadi ‘untuk diketahui umum’. Mungkin ini terlihat sebagai perubahan yang sedikit, tetapi sangat signifikan. Karena faktanya, pornografi seringkali ditransmisikan melalui person to person bukan public.”
Ia juga menyebutkan pasal lain yang menurutnya cukup bermasalah yakni Pasal 27A UU ITE Revisi Kedua sebagai bentuk perubahan dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Terdapat perubahan yang awalnya mengacu KUHP delik pencemaran nama baik/penistaan yakni pasal 310 dan delik fitnah pada pasal 311 yang merujuk pada ‘seseorang’. Sedangkan pada pasal perubahan disebutkan sebagai ‘orang lain’.
“Pada pasal terdahulu, kasus yang bisa dijerat ialah yang menyatakan penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang dengan identitas yang spesifik. Delik aduan absolut hanya bisa dilakukan oleh orang yang disebutkan identitasnya. Sedangkan, pada pasal baru menjadi lebih general karena mengacu pada diksi ‘orang lain’. Padahal ‘orang lain’ bersifat jamak. Apakah kemudian setiap orang punya hak untuk mengadu dan melaporkan kasus terkait?” jelasnya.
Guru besar UNAIR itu juga menerangkan mengenai Pasal 28 ayat 2 yang berisi Larangan Penyebaran Kebencian SARA (Hate Speech). Di dalam pasal baru, tidak tercantum kelompok dalam golongan-golongan, misalnya golongan politik dan sejenisnya. Padahal yang lebih sering ditemui ialah konflik penggolongan.
“Pasal ini jatuhnya menjadi pasal kekosongan norma karena tidak mampu menjangkau kebutuhan dalam menyelesaikan konflik. Misalnya, terdapat golongan orang yang menyebut si A sebagai kadrun, kemudian timbul keributan, konflik, hingga ketidakpercayaan pada suatu golongan, tidak bisa dijerat dengan pasal baru ini,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia juga menyebutkan bahwa aturan baru itu cukup bagus karena terdapat niatan baik untuk mendetailkan pasal-pasal sebelumnya. Sayangnya, revisi kedua UU ITE pada beberapa pasal justru terjebak nilai liberal dan masih menjadi pasal kekosongan norma. (*)
Sumber: