Tahun Duka

Tahun Duka

Oleh: Dahlan Iskan Ini memang Natal yang mendung bagi Jiwasraya --tapi lebih gelap lagi bagi CEO Boeing. Dennis Muilenburg harus berhenti. Selasa lalu. Itu hanya sebulan setelah ia dihajar Senat Amerika. Ia dinilai hanya bisa memproduksi peti mati. Yang menilai adalah anggota Senat Amerika. Muilenburg memang dipanggil Senat hari itu. Janji sang CEO memang meleset. Pesawat Boeing 737 MAX 8 ternyata belum juga bisa terbang kembali. Pun sampai tutup tahun ini. Berarti sudah hampir setahun Boeing 737 MAX 8 dilarang terbang. Di seluruh dunia. Bayangkan: pesawat baru sebanyak 387 menganggur di berbagai negara. Bisa beli satu pesawat saja susah. Ini ada 387 pesawat dianggurkan. Betapa rugi perusahaan yang telah membelinya. Untung Garuda hanya punya satu. Sisa pesanannya yang 49 sudah dibatalkan. Atau akan ditukar dengan pesawat jenis baru. Pembeli terbanyak MAX 8 adalah South West (USA), American Airlines (USA), dan China Southern (Guangzhou). Tapi lebih banyak lagi adalah yang ada di pabrik Boeing. Di dekat Seattle. Jenis pesawat ini memang masih terus diproduksi. Asumsi Boeing: bencana itu tidak akan lama. Sebelum triwulan keempat 2019 semua urusan sudah akan beres. Bahkan, waktu itu, lebih optimistis lagi. Problem MAX 8 akan bisa diatasi dalam hitungan minggu. Boeing adalah perusahaan besar. Orang-orang hebat ada di sana. Minggu yang ditunggu tidak datang-datang. Ganti menunggu bulan. Pun si bulan ternyata juga tidak bisa datang. Padahal pemesan jenis pesawat ini sudah mencapai 4.900 lebih. Larisnya bukan main. Yang terkirim saja sudah begitu banyak. Karena itu produksi jalan terus. Pun tanpa ada yang pernah dikirim. Sang CEO juga punya kiat lain --dalam upaya memulihkan kepercayaan. Yakni meluncurkan seri baru MAX: Boeing 737 MAX 10. Garuda diberitakan sudah tertarik. Menukar sisa pesanan dengan MAX 10. Yang bisa terbang 3 jam lebih jauh dari MAX 8. Tapi upaya meluncurkan MAX 10 ini terasa setengah-setengah. Seperti kurang percaya diri. Peluncuran jenis baru itu dilakukan --tumben-- secara sederhana. Tidak dalam suasana wow. Tidak pula mengundang calon-calon pembeli. Pun media masa. Peluncurannya hanya dilakukan di depan karyawan sendiri. Kecil-kecilan. Media hanya tahu dari siaran pers yang dikeluarkan Boeing. Itu pun pendek saja. Dengan hanya menyertakan satu foto. Yakni foto peluncuran itu. Kapan FAA mengizinkan Boeing 737 MAX 8 terbang? “Kami tidak bisa menetapkan waktunya. Keselamatan adalah yang utama,” begitu keterangan resmi badan otoritas penerbangan Amerika itu. Dengan sikap FAA seperti itu Boeing akhirnya bikin keputusan. Minggu lalu. Bahwa mulai Januari depan jenis pesawat itu tidak diproduksi lagi. Sang CEO lantas meletakkan jabatan. Belum ada penjelasan akan diapakan yang sudah telanjur jadi. Atau yang sudah dikirim itu. Itulah hasil puncak persaingan pasar bebas. Antara Boeing Amerika dan Airbus Perancis. Selama ini Boeing-lah pemenangnya. B 737 adalah gacoan Boeing. B 737 ibarat gadis cantik yang seksi. B 737 hampir selalu sukses. Sejak seri 200. Kian sukses lagi di seri 300. Disusul sukses berikutnya: seri 800. Yang ujung sayapnya melengkung ke atas itu. Lalu seri 900. Yang banyak dibeli Lion Air itu. Boeing masih terus sukses di seri berikutnya: 900NG (Next Generation). Lion juga punya banyak seri ini. Yang kurang sukses hanya seri 400 yang agak besar dan seri 500 yang agak pendek. Pokoknya, untuk pesawat ukuran 3 kursi di barisan kiri dan 3 kursi di barisan kanan Boeing 737 adalah rajanya. Jenis pesawat ini begitu efisiennya. Kapasitasnya dianggap paling ideal: sekitar 190 penumpang. Jarak tempuhnya bisa lebih 3.000 km. Pesawat yang lebih kecil dari ini lama-lama hilang. Seperti Fokker 28 sampai Fokker 100. Bahkan Bombardier regional juga gagal. Jenis pesawat yang ukurannya sedikit lebih besar dari itu juga dimakan B 737. Termasuk memakan produk Boeing sendiri. Seperti 757 dan 767. Kalau mau menghindari bersaing dengan B 737 sekalian yang besar. Seperti Boeing 777. Yang juga sukses besar. Yang juga memakan pasar ukuran yang lebih besar --seperti Boeing 747. Bahkan Airbus yang bikin sejarah dengan A 380 tidak tahan. Airbus sudah memutuskan untuk menghentikan produksi A 380 --yang amat saya banggakan itu. Boleh dikata Airbus kalah di semua segmen. Boeing-lah raja dunia. Kuncinya adalah efisiensi. Terutama dalam penggunaan bahan bakar. Di era BBM mahal, energi adalah tuhan di segala bisnis. Ternyata, pun raja bukan tidak bisa kalah. Akhirnya Airbus menemukan cara menghemat BBM itu. Lebih hemat dari B 737 seri apa pun. Desain baru itu dirahasiakan total. Sambil dikerjakan. Intelijen Boeing kecolongan. Atau ini hukum alam biasa saja. Sang Raja overconfident. Merasa tidak akan ada lagi yang lebih hebat. Ternyata yang kalah tidak selamanya kalah. Awan hitam tidak akan berada di satu tempat terus menerus. Desain baru Airbus akan bisa mengalahkan B 737. Bahan bakarnya akan lebih irit sampai 20 persen. Bukan main. Itulah jenis pesawat yang disebut A 330 Neo. Yang Garuda memesan dua buah. Salah satunya sudah jadi. Ketika dikirim ke Jakarta dipakai angkut sepeda Brompton dan Harley Davidson itu. A 330 Neo ini larisnya bukan main. Boeing merasa kecolongan. Untuk menghadang Neo tidak mudah. Harus membuat desain baru. Itu butuh waktu tahunan. Keburu Airbus menggerus pasar Boeing. Kunci rahasia Airbus pun diketahui: mesin jetnya dibuat agak besar. Konsekuensinya tempat mesin harus agak lebih tinggi. Agar tidak terlalu dekat dengan tanah. Penempatan mesin seperti itu memerlukan desain yang khusus. Agar hukum COG terpenuhi --center of gravity. COG adalah iman bagi para ahli pesawat. Mengabaikan COG sama dengan tidak beriman. Dan itu yang terjadi di Boeing: mengabaikan COG. Posisi mesin B 737 MAX 8 dibuat agak tinggi. Juga agak menonjol ke depan. Penempatan seperti itu, menurut rukun iman COG, dianggap musyrik. Akibatnya pesawat akan cenderung terdorong ke atas. Tapi Boeing sangat percaya diri. Kecenderungan membumbung itu bisa diatasi dengan komputer. Diciptakanlah software khusus. Untuk mengendalikan pesawat. Software itu disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS). Maka... Terjadilah kecelakaan Lion Air di Laut Jawa. Oktober tahun lalu. Lalu kecelakaan lagi di Ethiopian Airlines. Lima bulan kemudian. Total 346 orang meninggal dunia. Bagaimana bisa FAA meloloskan B737 MAX 8? FAA memang punya aturan baru. Untuk menghemat anggaran. Terutama sejak pemerintah pusat memotong anggaran FAA. Aturan baru itu menyebutkan perusahaan seperti Boeing boleh melakukan sertifikasi sendiri. Khusus untuk suatu perubahan kecil. Menurut Boeing, B737 MAX 8 adalah Boeing 737 NG yang sedikit diubah. Boeing 737 NG sudah mendapat sertifikat laik terbang. Perubahan kecilnya tidak perlu dimintakan sertifikat ke FAA. Mengubah posisi mesin dianggap perubahan kecil. Pun memgintroduksi software MCAS. Padahal, menurut ahli rancang pesawat, itu sudah menyangkut keimanan pesawat. Sudah kategori musyrik COG. Atau mungkin sayalah yang salah menafsirkan bacaan. Maklum saya hanya kategori hobi naik pesawat. Bukan ahli membuatnya.(*)  

Sumber: