Mengejar Kesaktian, Menembus Tabir Dunia Antah Berantah (5)

Mengejar Kesaktian, Menembus Tabir Dunia Antah Berantah (5)

Manusia Kembali ke Masa Kegelapan, Tak Sadar Menyembah Berhala Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Jujur, Memorandum sama sekali tidak memercayai semua omongan Hayong. Saat hal ini hendak kusampaikan, Hayong terburu menutup mulut Memorandum dengan telapak tangan kirinya. “Jangan meragukan aku. Aku tahu kau ke sini membawa uang Rp 505.500.” Memorandum bergegas mengeluarkan dompet dan membuka isinya. Hanya 500 ribu. Empat lembar Rp 100 ribuan dan dua lembar Rp 50 ribuan, “Salah.” “Kau belum mengambil uang yang terselip di saku kiri belakang celana.” Memorandum merogoh saku yang dia maksud. Hanya ada Rp 5 ribu. “Salah.” “Ambil yang Rp 500 di saku kecil kanan celana. Bagian depan.” Ternyata benar. “Uang itu sudah hampir tiga tahun tersembunyi di situ. Tukang laundry-mu kurang teliti.” Memorandum akan berkomentar, tapi Hayong terburu berkata, “Sebentar lagi Linda, kekasih kecilmu dulu itu, berdiri dan berjalan kemari untuk memaksa aku pulang. Tapi tidak jadi.” Memorandum melirik ke warung Rumiyati. Teman-teman sedang guyon. Cuma Linda yang tampak bersedih. Mendadak dia berdiri dan berjalan mendekat.  Tapi, tak lama dia menghentikan langkah dan kembali, terus duduk. “Apa lagi yang kau ragukan dariku?” Memorandum diam. “Kudengar kau sempat jadi caleg ya? Ceritnya gimana?” tanya Memorandum akhirnya. “Ya. Sudah hampir jadi. Tapi aku diingatkan. Aku dibisiki agar tidak meneruskan niatku. Kalau ingin ingin tetap jadi orang jujur, jangan menjadi anggota dewan. Bukan di sana tempatnya. Memang ada orang-orang jujur, tapi jumlahnya sedikit. Amat sedikit,” tutur Hayong. Lirih. Hayong diminta tetap tinggal di rumah. Rezeki akan datang sendiri. Melihat dan merasakan respons Hayong atas ucapan-ucapan Memorandum, terasa sekali bahwa lelaki murah tawa bukan sekadar senyum ini sehat wal afiat. Fisik dan mental. Namun, mengapa orang-orang menilai Hayong miring alias gila? Bahkan semua teman di masa kecil, termasuk istri sendiri, menilainya demikian. “Tidak usah kau  pikirkan.” “Memang apa yang kupikirkan?” Hayong tertawa. Tawa yang renyah. Seperti biasa. Seperti tawanya di masa kecil, saat kami masih bersekolah menggunakan celana pendek. Tawa lepas. Tawa yang Menurut Hayong, hidup ini hanya sandiwara. Penuh kepura-puraan. Hampir semua orang tidak puas menjadi dirinya sendiri. Mereka menjalani hidup dengan menjadi pribadi orang lain. “Bahasa kasarnya, Yul. Banyak orang munafik. Banyak orang mengatakan ya, padahal hatinya menolak, banyak orang mengatakan tidak, tapi hatinya sangat berharap.” Ditegaskan Hayong bahwa sekarang adalah titik balik ke masa kegelapan. Menusia kembali ke zaman jahiliyah sebagai penyembah-penyembah berhala. Hanya, berhala sekarang bentuknya berbeda. “Kau sendiri mungkin termasuk penyembah berhala itu, tapi tidak kau sadari,” kata Hayong sambil menatap mata Memorandum. (bersambung)  

Sumber: