Dipertemukan di Ospek, saat Salah Melafalkan Pancasila

Dipertemukan di Ospek, saat Salah Melafalkan Pancasila

Yuli Setyo Budi, Surabaya Di mata Samuel (38, samaran) dan Siti (39, samaran), cinta adalah segala-galanya. Nomor satu. Yang lain bisa ditaruh di nomor 13, 99, atau bahkan 1.000. Termasuk pekerjaan dan agama. Siti bertemu Samuel pada orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) maba (mahasiswa baru) perguruan tinggi swasta terkenal di Surabaya, 21 tahun lalu. Waktu itu Siti tersenyum sinis melihat Samuel yang berdandan perlente dengan kalung kertas bertuliskan koruptor. Sebaliknya, Samuel tertawa ngakak wkwkwk mendengar Siti yang bolak-balik salah menghafalkan Pancasila. Masak sila ketiga dilafalkan persatukan Indonesia. “Memangnya Indonesia sedang kocar-kacir?” kenang Siti mengingat ucapan Samuel waktu itu. Semasa masih hanya berteman, keluarga bisa menerima hubungan pertemanan keduanya. Tapi ketika mereka makin dekat dan keluarga tahu latar belakang agama masing-masing, mulai muncul persoalan. Kedua pihak menyatakan ketidaksetujuan terhadap hubungan anak-anak mereka dilanjutkan. Keluarga Samuel yang pengusaha properti adalah penganut Katolik taat, sementara Siti berdarah Aceh yang mengusai sebagian bisnis di Ampel. Sebenarnya keluarga Siti sempat memberi kesempatan kepada Samuel untuk jadi mualaf sebelum menikahi Siti. Tapi Samuel menolak, bahkan menawarkan alternatif menikah di luar negeri yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Lantaran ketidaksepahaman itu, hubungan Samuel-Siti sempat renggang. Hampir setengah tahun mereka tidak bertemu. Tapi, rupanya suara hati tak bisa dibungkam. Suatu saat Samuel menghubungi Siti dan menyatakan memutuskan bersedia jadi mualaf, meski tanpa diketahui papa-mamanya. Tapi terlambat, sebab Siti sudah telanjur dijodohkan dengan pengusaha sukses keturunan Arab asal Gresik. Walau begitu, peluang untuk Samuel masih terbuka karena Siti sejatinya tidak setuju atas perjodohan itu. “Saya tidak setuju dengan keinginan Abi (sebutan bapak untuk ayah bagi Siti, red). Selain orangnya sudah tidak muda lagi, kabarnya saya hendak dijadikan istri ketiga. Ya, ketiga. Ngeri,” cerita Siti ke calon pengacara dia di area Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, baru-baru ini. Memorandum bisa ikut mendengarkan kisah ini karena diperkenalkan pengacara tadi sebagai asistennya. Siti sebenarnya sudah berusaha membatalkan perjodohan ini, tapi usaha itu sia-sia. Segala persiapan sudah dilakukan, bahkan sudah mendekati hari H. Saat itulah kabar Samuel hendak jadi mualaf datang. Tentu saja Siti yang masih mencintai Samuel masih mengharapkan dia. “Makanya saya dan dia (Samuel, red) nekat kabur ke rumah kerabat yang sepaham di kampung Arab Jember,” aku Siti. Saat kembali ke Surabaya, Samuel vs Siti mencoba memperjuangkan lagi cinta mereka. Keduanya sekuat tenaga mempengaruhi keluarga masing-masing, namun tidak juga berhasil. Cinta sejati—tampaknya—akhirnya mempersatukan tekad keduanya. Pernikahan dengan wali hakim pun terjadi setelah Samuel mengikrarkan dua kalimat sahadat. Pasca itu mereka tinggal di rumah kontrakan dan membuka usaha kecil-kecilan dengan modal pinjaman. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, ternyata hasib baik tidak mendukung. Usaha yang mereka kelola lambat laun masuk jurang kebangkrutan. Tidak ada yang dimintai tolong, Samuel akhirnya nekat kembali ke rumah untuk meminta bantuan orang tua. Tapi, jangankan menemui, orang tua Samuel bahkan enggan membuka pintu. Hanya pembantu yang muncul dan berkata singkat, “Papa dan Mama tidak mau menemui Mas Samuel,” ujar pembantu tadi. Perjuangan juga dilakukan Siti. Dia berusaha membujuk agar orang tua merestui pernikahan yang sudah telanjur dilakukan Siti vs Samuel. Bagaimana hasilnya? (bersambung)  

Sumber: