Life Isn’t For a Bread

Life Isn’t For a Bread

Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM Presiden Nusantar GIlang Gemilang Founder RSU Wajak Husada Dialah Abdurrahman Bin Auf, salah satu sabahat Nabi Muhammad generasi awal, bahkan ber-Islamnya beliau beberapa saat setelah Abu Bakar As-Sidiq ber-syahadat. Abdurrahman Bin Auf ini adalah salah satu sahabat yang ikut hijrah ke Madinah bersama Rasulullah. Sebagaimana kita ketahui bahwa hijrahnya kaum muhajirin ke Madinah tanpa membawa sepeserpun harta mereka yang ada di Makkah. Sampai di Madinah, Abdurrahman Bin Auf dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan sahabat Anshar Sa'ad Bin Rabi'. Yang menarik adalah bukan Abdurrahman Bin Auf mengiyakan apa yang menjadi tawaran baginya dari sabahat Sa'ad, akan tetapi yang beliau tanyakan adalah "dimana letak pasar", kata Abdurrahman Bin Auf. Dari situlah kisah kegemilangan dan kesuksesan Abdurrahman Bin Auf dimulai di Madinah. Bahkan, menurut catatan sejarah hampir setiap hari 700 unta yang dimiliki Abdurrahman Bin Auf membawa barang dagangan untuk dibawa ke Madinah. Tidak sampai disitu, kesungguhannya dalam perjuangan Islam juga telah ditunjukan saat perang Tabuk. Kita tahu bahwa perang Tabuk adalah perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah, dan perang itu berlangsung dalam situasi krisis, dalam situasi paceklik. Perbekalan kaum muslimin terbatas, sedangkan pasukan kekaisaran Byzantium Romawi jumlahnya lebih banyak. Dialah Abdurrahman Bin Auf yang telah memberikan seluruh hartanya untuk perbekalan kaum muslimin pada perak Tabuk. Apakah menjadikan harta Abdurrahman bin Auf habis ? Ternyata tidak, bahkan sepeninggal Rasulullah, Abdurrahman Bin Auf masih bisa memberikan dan memenuhi kebutuhan keluarga Rasulullah dengan menjualkan aset beliau berupa tanah. Kita selalu mendapatkan banyak pelajaran dari kisah para sahabat yang mulia ini, pelajaran berharga bahwa "Life Isn't for a bread", bahwa hidup itu tidak hanya sekedar untuk makan dan menumpuk harta, akan tetapi lebih dari itu, sebagaimana ungkapan Anthony Robbins, bahwa "It is Not what we get.. But who we become.. what we contribute..thats gives meaning to our lives" . Bahwa yang kita yakini, puncak dari segala hal dalam kehidupan adalah ketika kita bisa memberikan kemanfaatan bagi yang lainnya", (nafi'un lighairihi). (*)

Sumber: