Menapaki Sisa Hidup Penuh Semangat tanpa Kaki (3)

Menapaki Sisa Hidup Penuh Semangat tanpa Kaki (3)

Kecurigaan langsung menyergap. Dia menuduh istrinya ada main dengan Amin. Ngapain pria itu pagi-pagi sudah nyamperin Karin dan berdiri mesra di belakang istrinya. Ngapain juga tangannya gentayangan di depan dada Karin? Jainul lantas mengusir Amin dengan halus. Dikatakan bahwa dia, Karin, dan anak-anak akan sambang orang tua di Mojokerto. Begitu Amin pergi, Jainul langsung memarahi istrinya. Berjuta kecurigaan disampaikan. Berjuta caci maki dilontarkan. Untungnya Karin tidak menanggapi dengan emosi. Dengan santai dia jelaskan bahwa tadi Amin sedang mengajarinya menjalankan bisnis online, bagaimana mengoperasikan aplikasi-aplikasi di internet dan lain-lain. Jainul tidak percaya begitu saja. Darahnya membara. Apalagi, dia ingat-ingat pernah mendengar Amin memuji-muji Jainul yang pandai memilih istri. Sudah cantik, baik hati lagi. “Jujur aku cemburu,” tegas Jainul. Kecemburuan Jainul semakin menjadi-jadi ketika suatu saat menemui Karin dan Amin jalan bersama di jalan masuk kompleks perumahan. Meski mereka tidak bergandengan, tapi posisi jalannya mepet banget. “Karin langsung kutarik menjauh. Aku sendiri sampai hampir jatuh. Kursi rodaku melindas batu kecil,” kata Jainul, kemudian tersenyum kecut. Waktu itu Jainul sedang jalan pagi muter-muter kompleks perumahan. Diperlakukan seperti itu Karin tersinggung. Ia balik memarahi suaminya, lalu pergi begitu saja. Tinggal Jainul dan Amin yang sama-sama diam. Amin bahkan spontan pamit dan balik kucing, entah ke mana. Di rumah, kemarahan Jainul masih berkobar. Dia kata-katai Karin dengan hal-hal yang tidak sopan. Tapi, rupanya Karin sudah bisa menjinakkan amarah. Apalagi di depan anak-anak. Pelan-pelan Karin menjelaskan bahwa kecemburuan Jainul sangat tidak logis. Tidak mungkin Amin tega bermain api dengannya (Karin) di belakang Jainul. Sangat tidak mungkin. “Tadi aku ke (Karin menyebutkan nama minimarket, red) dekat gerbang kompleks perumahan untuk beli gula. Kebetulan di toko itu aku ketemu Mas Amin, yang katanya akan dolan ke rumah. Makanya kami jalan bareng,” begitu Karin memberi penjelasan kepada Jainul. Penjelasan Karin ternyata tidak diterima Jainul begitu saja. Beberapa keramik hias dibanting dengan kasar. “Aku memang sudah loyo. Tidak seperti dulu. Tapi jangan menyeleweng di depan mata,” teriak Jainul. Karin diam saja. Dia bahkan balik badan dan mengajak anak-anak menjauh. Berpindah ke ruang tengah rumah meninggalkan Jainul termangu-mangu sendirian. Jainul semakin dongkol dan merasa tidak dihargai sama sekali. Dia masuk kamar, membanting pintu keras-keras, dan melemparkan tubuh ke atas kasur. Dia bertekad bakal menceraikan istrinya. “Besok aku akan ke PA,” katanya bertekad. (jos, bersambung)  

Sumber: