Cintanya Berkobar dan Padam di Tanah Rencong, Aceh (3)

Cintanya Berkobar dan Padam di Tanah Rencong, Aceh (3)

Andung nyaris pingsan. Untung dia segera mendengar suara takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu. Perlahan dia perhatikan dengan seksama, ternyata sosok yang berdiri di sampingku itu adalah Karman yang sedang salat Tahajud. Perlahan Andung membalikkan tubuh membelakanginya.”Ya Allah, aku lupa bahwa sekarang aku telah menjadi istri Karman,” kata hatinya. Tapi meskipun demikian, dia masih tidak bisa menerima kehadirannya dalam hidup. Saat itu, karena masih di bawah perasan ngantuk, Andung kembali tertidur. Hingga pukul 04.00 dini hari, dia dapati suami sedang tidur beralaskan sajadah di bawah ranjang pengantin. Dada Andung kembali berdetak kencang kala mendapatinya. Dia masih belum percaya kalau telah bersuami. Tapi, ada sebuah pertanyaaan terbetik dalam benaknya: Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku? “Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku. Itu kan logikanya? Ada apa ini?” ujar Andung dalam hati. Andung merasa mungkin saja malam itu Karman kecapaian sehingga dia tidak mendatanginya dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. “Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh aku pun tidak menginginkannya,” gumamnya dalam hati. Hari-hari terus berlalu. Mereka pun menjalani aktivitas masing-masing, Karman bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan Andung, di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa dirinya telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suami. Yah, minimal menyediakan makanannya, meski kenangan-kenangan bersama Andi belum hilang dari benaknya. Jujur, diau bahkan masih merindukannya. Semula dipikir perilaku Karman yang tidak pernah menyentuhnya dan menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi malam pernikahan. Ternyata tidak. Itu terjadi hampir setiap malam sejak malam pengantin itu, Karman selalu tidur beralaskan permadani di bawah ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar . Dia tidak pernah menyentuh Andung walau hanya menjabat tangan. Jujur segala kebutuhan selalu dipenuhinya. Secara lahir dia selalu menafkahi, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhkan. Tapi soal biologis, Karman tak pernah sama sekali mengungkit-ungkitnya atau menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah kupahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar, Karman meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyentuh. Ada apa dengan Karman? Apakah dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin? “Apakah aku kurang di matanya? Atau? Jujur, merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku,” batin Andung. Ada apa dengan suamiku? bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajiban? Ada apa dengannya? (jos, bersambung)  

Sumber: