Penyesalan Lelaki Paruh Baya Gugurkan Kadungan Istri (3-habis)

Penyesalan Lelaki Paruh Baya Gugurkan Kadungan Istri (3-habis)

Danang gundah. Pikirannya nyaris pecah. Ia minta Risa menggugurkan kandungan yang sudah berjalan beberapa bulan. Tapi sang istri tidak sepakat. Perempuan ini dengan ikhlas bisa menerima kehamilannya. Risa bahkan sempat berharap anak yang dikandungnya ini berjenis kelamin laki-laki. Berbeda dari ketiga kakaknya yang perempuan semua. “Risa ngotot tidak mau menggugugrkan kandungannya,” kata Danang. Pemikiran yang berbeda antara Danang dan Risa menimbulkan ketegangan. Mereka sempat beberapa hari menutup jalur komunikasi. Pada saat itulah, merasa sebagai kepala rumah tangga, Danang menggunakan hak veto: perintahnya harus dijalankan! Risa tidak menyerah. Terjadi pertengkaran berlarut-larut. Justru menjelang proses kelahiran, Risa menyerah. Pada kehamilan bulan kesembilan, perutnya terasa diudak-udak. Mereka lantas mendatangi dokter, yang mempersilakan Risa masuk ruang praktik. Cukup lama. Hampir sejam. Saat keluar, dokter menjelaskan bahwa Risa harus dirawat inap. “Ini dikubur ya Pak,” kata dokter kepada Danang sambil menyerahkan bungkusan. Sesampai rumah, bungkusan dari dokter tadi lantas dikubur di halaman belakang rumah. Malam-malam. “Waktu itu hati ini merasa lega, Pak Jos. Sungguh. Tak tahunya…” Danang kembali menangis. Semula-mula lirih tapi semakin lama semakin keras. Memorandum yang takut tangis Danang mengganggu majelis lantas mengajak pria berkumis tipis ini keluar ruang utama masjid. Bergeser ke teras samping dekat toilet. Lama Danang tenggelam dalam tangis. Memorandum sengaja membiarkan. Memberi kesempatan Danang menghabiskan sisa air matanya. Biar hatinya lega. Biar kembali blong. “Aku dosa besar, Pak Jos. Aku orang syirik, dan tega-teganya memaksa istri ikut syirik,” tuturnya lirih tanpa mengubah posisi kepalanya yang masih disimpan di antara kedua tekukan kaki. Tanpa kami sadari, ternyata Risa sudah berdiri di dekat kami. Rupanya majelis taklim sudah selesai. Ruang utama masjid sudah sepi. Baik dari jemaah perempuan  maupun jemaah laki-laki. Risa kemudian jongkok di sebelah Danang dan merangkul pundaknya. “Mengapa Bapak menangis?” tanya Risa. Danang menoleh dan segera memeluk Risa. “Maafkan aku, Buk. Aku telah menjerumuskan Ibuk ke jurang kemusyrikan,” kata Danang sambil mempererat pelukan. Memorandum serasa melihat potongan sinetron di televisi. “Lho, siapa yang musyrik?” tanya Risa ringan. Tanpa beban. “Maafkan aku telah memaksa Ibuk menggugurkan kandungan Ibuk. Membunuh bayi kita,” kata Danang. Kembali tangisnya pecah. “Siapa yang menggugurkan kandungan? Bungkusan yang Bapak tanam di halaman belakang rumah itu tah? Bapak mengira itu janin bayi kita?” imbuh Risa. Danang tercengang. Diam sejuta bahasa. “Itu sampah. Bungkusan sisa sarapan kami. Sarapanku dan Bu Dokter.” Risa lantas menjelaskan bahwa bayi mereka sementara masih dirawat keluarga Bu Dokter. Risa sepakat dengan Bu Dokter menunggu Danang bisa menerima kehadiran sang jabang bayi. (jos, habis)    

Sumber: