Pernikahan karena Telanjur Hamil, padahal Hanya Sekali (6-habis)

Pernikahan karena Telanjur Hamil, padahal Hanya Sekali (6-habis)

Ketika sang paman turun dan menuju rumah, tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat Broto keluar dari dalam. Sejenak kemudian mereka berbincang. Melihat itu, Niken tidak sabar meloncat turun dari mobil. Secepat kilat berlari menuju ayahnya. Tapi, apa yang terjadi. Menyadari bahwa adiknya datang bersama Niken, Broto bergegas menutup pintu rumah dan tidak keluar-keluar lagi. Niken yang sedang berlari tidak melihat jalan di depan. Kakinya tersandung rel pagar dan jatuh. Nyungsep. Darah menggenang di sekitarnya.  Kemudian tidak sadarkan diri. Bangun-bangun, Niken sudah terbaring di kamar rumah sakit. Seperti dulu. “Mama-Papa?” tanyanya kepada Bambang yang duduk di pinggir ranjang. “Papa dan Mama tidak kemari,” tutur Bambang, “Yang ada Abah dan Umik. Mereka masih salat.” Niken menangis. Dia merasa bakal benar-benar kehilangan orang tua. Sebab, dalam kondisi seperti ini saja, mereka tidak mau menemuinya. Padahal, kecelakaan itu terjadi di depan rumah mereka. Dan, mereka tahu. Dua kali keguguran menjadi pelajaran bagi Niken, Bambang, dan keluarga. Untung Niken tidak trauma. Ia menganggap peristiwa itu sebagai kecelakaan. Harus ada upaya lebih maksimal. Kini mereka lebih hati-hati. Untuk menjaga agar tidak terulang kejadian serupa, Niken diminta istirahat total di rumah. Tidak boleh berbelanja walau hanya di depan rumah. Tidak boleh bekerja. Tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Dll. Dst. Dsb. Apalagi setelah diketahui hamil lagi, Niken hanya boleh berdiam diri di dalam kamar. Semua diladeni. Niken menganggap ini terlalu berlebihan, namun Bambang bersikeras ini harus dilakukan. Ia didukung orang tuanya. Niken diperlakukan bagai ratu. Pekerjaan apa pun tidak boleh dilakukan sendiri. Bambang bahkan secara khusus mengambil seorang asisten rumah tangga. Padahal, selama ini mereka tidak pernah melakukan itu. Semua pekerjaan dibagi. Semua. Seluruh anggota keluarga kebagian tanggung jawab sesuai kekuatan fisik dan mental masing-masing. “Saya benar-benar sangat dimanja,” kata Niken. Alhamdulillah upaya ini akhirnya berhasil. Gol. Niken melahirkan seorang bayi lelaki yang ganteng dan sehat. Wajahnya sangat mirip dengan kakeknya. Ayah Niken. Broto. Hari itu juga Niken menyampaikan kabar baik tersebut kepada ayah dan ibunya. Tidak ada respons. Niken tidak berputus asa. Setiap hari dia mengirimkan foto bayi yang diberi nama—sebut saja—Wawan itu via WA (WhatsApp). Tetap tidak ada respons. Sebulan berlalu. Usaha Niken belum membuahkan hasil. Bambang tidak berpangku tangan. Dia terus memberi semangat agar Niken tidak patah arang. Demikian juga kedua mertua. Ketika Wawan berumur enam bulan dan harus kontrol ke rumah sakit, mereka mencoba mampir ke rumah Broto. Pagar terkunci rapat. Tapi, Niken sempat melihat ayahnya mengintip dari balik korden yang sedikit disingkap. Juga ibunya. “Sudahlah. Kita pulang dulu. Nak Niken dan Bambang, yang sabar ya. Besok atau lusa kita kembali lagi,” kata ayah Bambang. Belum seratus meter mobil berjalan, tiba-tiba Niken berteriak histeris. Dia menunjukkan layar HP-nya ke Bambang dan kedua mertuanya. Bambang yang sedang menyetir sampai kaget dan kebingungan. Demikian juga ayah dan ibunya, tidak mengerti maksud Niken. “Ada apa?” tanya ibu mertuanya kemudian. “Foto kiriman saya ke WA Ayah sudah centang dua. Sudah hijau. Berarti sudah dilihat,” kata Niken terdendat-sendat. Air mata mengalir dari ujung-ujung mata. “Mudah-mudahan hati Ayah sudah luluh,” tutur Niken. Bambang dan kedua orang tuanya mengaminkan. (jos, habis)

Sumber: