Menteri Syahrul: Pangan Soal Kemanusiaan, Tak Boleh Ekspor Dihambat

Menteri Syahrul: Pangan Soal Kemanusiaan, Tak Boleh Ekspor Dihambat

Badung, memorandum.co.id - Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengajak negara-negara anggota G-20 untuk memperkuat ketahanan pangan bersama. Pangan adalah pilar utama kemanusiaan dunia. Tidak boleh ada satu pun negara yang tertinggal soal pangan karena kepentingan satu negara. Bagi Syahrul, sektor pangan sangat penting dan tidak boleh ada persoalan. Sebagai pilar kemanusian, kata dia, ia meminta negara-negara G-20 tidak menutup diri melalui pembatasan ekspor seperti yang terjadi saat ini. "Pangan adalah human right. Tidak boleh ada negara di G20 ini menutup diri atau membatasi ekspornya atau memproteksi hanya karena kepentingan nasional sebab kita sudah menyepakatinya," kata Syahrul saat menjadi pembicara pada Global Food Security Forum di Bali, Minggu (13/11). Bagi Indonesia, kata Syahrul, ada tiga hal penting yang menjadi fokus utama dalam mengantisipasi krisis pangan dunia. Pertama, mempromosikan sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan berkelanjutan. Kedua, mempromosikan perdagangan pertanian yang terbuka dan non-diskriminatif. Ketiga, memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan yang ada. Sesuai kesepakatan, kata dia, pangan merupakan sektor super prioritas yang harus dikelola bersama dan berkelanjutan. Oleh karena itu, anggaran di semua negara juga harus dinaikkan untuk mendukung ketersediaan pangan. Untuk Indonesia sendiri, jelas Syahrul, pertanian menjadi sektor super prioritas, seperti berkali-kali disampaikan Presiden Joko Widodo. Khusus untuk beras, jelas dia, saat ini ada stok 10,2 juta ton. Indonesia siap bila harus memasok ke negara yang kekurangan pangan, seperti Afrika. Indonesia, kata Syahrul, kini menggenjor produksi pangan lokal untuk mensubtitusi gandum. Kementan telah menyiapkan sagu, gandum, dan juga singkong sebagai bahan tepung pengganti gandum yang diimpor. "Menurut saya, yang paling penting memang kerja sama global ini dimantapkan. Tidak sebatas retorika dan diskusi. Tetapi bagaimana monitoring langkah lanjutan di tingkat implementasi sesuai kebutuhan yang ada," kata Syahrul. (iku/gus)

Sumber: