Ketika Poligami Menjadi Solusi Kisruh Rumah Tangga (1)

Ketika Poligami Menjadi Solusi Kisruh Rumah Tangga (1)

“Muniah perhatikan, sudah beberapa hari ini Bapak memperhatikan saya. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu? Jangan mecem-macem lho Pak. Kasihan Mbak Ike.” Dahlan ( bukan nama sebenarnya) terpaku memandangi layar HP-nya. Sudah tiga hari pesan itu tersimpan di memori. Ada yang mengganjal hatinya terkait pesan WA tadi. “Jujur, waktu itu aku ragu: benarkah pesan tersebut benar-benar dikirimkan dia?” cerita Dahlan di kantor seorang pengacara sekitar gedung Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. “Siapa dia?” tanya Memorandum menanggapi cerita awal Dahlan. “Muniah,” jawab Dahlan, yang lantas menjelaskan bahwa Muniah adalah gadis yang sejak awal Ramadan tahun lalu membantu keluarga beres-beres pekerjaan rumah. “Pembantu?” tanya Memorandum lagi. Dahlan tidak segera menjawab. Sepertinya dia sedang mencari pilihan kata-kata yang tepat agar ucapannya tidak menimbukan salah paham. Menurut Dahlan, Muniah itu tetangga Ike (nama samaran istri Dahlan) di daerah asal mereka. Desa terpencil di Pacitan. “Bukan pembantu. Tapi, dia memang kami minta untuk membantu di rumah. Hanya sementara,” kata Dahlan. Istri Dahlan minta bantuan Muniah karena pembantu mereka mendadak izin berhenti kerja. Mau menikah. Padahal, saat itu Ike sedang hamil tua sehingga tidak mungkin mengurusi tetek bengek pekerjaan rumah. Apalagi, itu kemungkinan satu-satunya kehamilan Ike. “Jadi, Muniah dipanggil dari Pacitan?” “Ngga. Muniah di Surabaya. Kuliah dan indekos di sekitar Lidah.” “Lalu, apanya yang waktu itu bikin Anda ragu soal pesan WA tadi? Panggil saja Muniah, tanya apakah ini WA itu, beres kan?” “Nggak enak. Sepertinya kayak nuduh-nuduh gitu.” “Lho, yang nuduh kan dia? Nuduh kamu memperhatikan dia. Iya kan?” “Iya sih.” “Jangan-jangan Anda memang sering melihat Muniah dengan pandangan ya’apa gitu?” Dahlan diam. Matanya yang semula menatap Memorandum pelan-pelan dialihkan memandang lantai. “Istri Anda kan sedang hamil dan mau melahirkan, masak mau macem-macem?” kata Memorandum sok menasihati, mungkin karena merasa jauh lebih tua. Bukan sekadar sok tua atau sok alim. “Tapi bener, Anda sering diam-diam memandangi Muniah?” imbuh Memorandum. Kali ini Dahlan mengangguk. Lirih. Wajahnya memerah. Malu. Selanjutnya giliran Memorandum yang diam. Bingung mau ngomong apa lagi. “Apa sih yang membuat Anda tertarik sering-sering memandangi Muniah? Cantik? Seksi? Atau apa?” “Semua.” Edan  tidak? Jawaban yang tampaknya spontan. Jujur. Ah… pasti ada maksud-maksud tertentu di balik pandangan Dahlan yang demikian. “Anda pasti seneng Muiah.” Dahlan mengangguk lagi, (jos, bersambung)    

Sumber: