Malam Pertama tanpa Tetesan Darah di Atas Ranjang (1)
Tempat tidur berserakan dan sprei ternoda warna merah. Di pojok ranjang, dirinya tertidur di atas ranjang. Pulas dan lemas. Puas. Itulah yang dibayangan suaminya, Wahid (samaran) terhadap malam pertamanya. Tapi tidak. Itu semua tidak terjadi. Tidak nyata. Itu hanya ada dalam khayalan lelaki ini. Faktanya sprei tetap rapi dan bersih. Marta melangkah santai ke kamar mandi pasca pertempuran perdanya dini hari itu. Ternyata kenyataan itu membuat Wahid kecewa. Dia curiga dan mengira Marta pernah melakukan dengan lelaki lain belumnya. Dia uring-uringan dan merasa tertipu. “Tapi aku tidak pernah melakukan. Sungguh, Pak,” kata Marta kepada pengacara yang dimintai tolong membantu mengurus perceraian. Pengakuan itu diungkapkan Marta di kantor sang pengacara di sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, hampir dua bulan lalu. Marta mengaku sakit hati karena tuduhan itu diucapkan Wahid setiap saat. Tidak peduli tempat dan waktu. Termasuk di depan keluarganya maupun keluarga Wahid. “Aku malu, Pak,” katanya sambil menangis. Sejak malam itu Wahid jarang mengajak Marta berhubungan intim. Tapi di luar itu, lelaki berbadan kurus ini masih meminta haknya sebagai suami dipenuhi. Misal, Marta harus menyediakan sarapan dan air hangat untuk mandi pagi. “Aku tidak pernah disentuh. Sama sekali. Aku hanya disuruh-suruh dan diperlakukan seperti pembantu,” keluh Marta. Suatu saat Wahid pernah mengatakan akan membalas dendam karena merasa telah ditipu. Caranya, dia akan berhubungan dengan perempuan lain dan Marta tidak boleh menghalangi. Marta sedih dan berusaha menghalangi niat Wahid dengan menegaskan bahwa balas dengan itu tidak perlu, karena faktanya dirinya tidak pernah sama sekali berhubungan intim sebelum menikah vs Wahid. Malam pengantin itu adalah kali pertama dia melayani lelaki. Dan, lelaki itu adalah Wahid, suami sendiri. Wahid ngotot. Kalau memang itu adalah kali pertama Marta berhubungan intim, tentu ada tanda keperawanan. Yaitu bercak darah di sprei pada malam pertama. Tapi, di mana tanda itu? Tidak ada kan? Fakta yang terjadi memang demikian, dan Marta tidak tahu mengapa bisa begitu. Dia tidak mampu menjelaskan lebih jauh. Akhirnya dia pasrah. Walau begitu, bukan berarti Marta setuju Wahid melampiaskan syahwat kepada perempuan lain. Hanya, dia tidak akan berusaha menghalang-halangi apa pun tindakan Wahid. Ternyata perkataan Wahid bukan omong kosong. Dia membuktikannya. Suatu saat Wahid membawa pulang perempuan muda. Sangat muda. Usianya diperkirakan tidak lebih dari 20 tahun. Seusia anak SMA. “Jangan ganggu. Anggap ini pelampiasan dendam, karena kamu tidak bisa memberikannya kepada suami ini,” kata Wahid sebelum menganjak perempuan muda itu masuk kamar dan mengunci dari dalam. (jos, bersambung)
Sumber: