Pesan untuk Pelaku Sepak Bola Indonesia, Fair Play Jangan Hanya di Atas Kertas

Pesan untuk Pelaku Sepak Bola Indonesia, Fair Play Jangan Hanya di Atas Kertas

Catatan: Eko Yudiono, wartawan Memorandum   Brutal. Itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan aksi yang dilakukan Kei Hirose pemain Borneo FC asal Jepang yang mengasari Koko Ari, pemain Persebaya di match day ke-4 Liga 1 musim 2022/2023 di Stadion Segiri, Samarinda, Jumat (19/8) sore. Menit ke-14, ketika Koko Ari menguasai bola, tiba-tiba Kei, yang juga pernah memperkuat Persela Lamongan ini langsung ‘menghajar’ kaki kanan Koko. Akibatnya bisa ditebak, Koko langsung ditandu keluar lapangan. Di akhir pertandingan, Green Force kalah tipis, 1-2 dari tuan rumah. Kekalahan jelas berkorelasi dengan keluarnya Koko Ari yang berposisi sebagai bek. Mengingat, posisi krusialnya di lapangan. Ironisnya, pelanggaran keras yang dilakukan Kei hanya dihadiahi kartu kuning oleh wasit. Padahal, wasit Sance Lawita mengantongi lisensi FIFA. Pertanyaannya, jika wasit ber-linsensi FIFA saja bisa salah mengambil keputusan, bagaimana dengan wasit yang ber-lisensi nasional?   Sungguh, sepak bola sebagai salah satu instrumen kebangkitan Indonesia di tengah merayakan HUT Ke-77 Republik Indonesia seharusnya bisa lebih maju. Caranya sebetulnya mudah, semua stake holder bertekad menjunjung tinggi nilai-nilai fair play bukan hanya sekedar tinta di atas kertas.   Apa yang dilakukan Kei jangan sampai terulang lagi, meski yang bersangkutan sudah meminta maaf secara pribadi kepada Koko dan diunggah di Instagram pribadi @ @jjmi_kei_. Namun, Tindakan brutal pasti membuat ketar-ketir. Menimbulkan trauma kepada pemain dan juga keluarganya.   Jika nilai-nilai fair play sudah tidak ditegakkan oleh pemain, official, perangkat pertandingan, operator kompetisi hingga suporter apa jadinya sepak bola kita. Kompetisi kita. Jadinya pasti hanya kompetisi dagelan yang hasil akhirnya bisa ditebak.   Sekali lagi, pesan ini bukan hanya untuk Kei, namun untuk semua pesepak bola yang mencari makan dari olah raga paling populer di jagat raya ini. Jika mencari makannya dari sepak bola, lalu mengapa menyakiti satu sama lain yang jelas-jelas jauh dari koridor fair play. Malu dong!   Karena apa? Karena apa yang ditampilkan para pemain sepak bola yang katanya professional di Liga 1 justru mencerminkan ketidakprofesional mereka. Kejadian di awal kompetisi ini seharusnya menjadi cermin bagi semua tim peserta untuk tetap mengedepankan fair play.   Kalah menang dan seri adalah hal yang biasa dalam sepak bola. Tetapi bagaimana menyingkapi semuanya dengan lapang dada itu sebenarnya layak disebut tim juara. Toh, juara bukan hanya sekedar angkat piala. Juara lebih dari itu. Juara adalah kerja keras semua elemen agar sepak bola kita semakin maju. Bukan sepak bola yang penuh dagelan, kekerasan dan lain-lain.   Hasil akhir tidak menjadi penting jika tidak mengedepankan fair play. Maka, semoga kejadian Kei tidak akan terulang lagi sehingga kita bisa dengan enak dan duduk manis sembari minum the dan menikmati sepak bola yang disuguhkan oleh tim-tim terbaik yang dimiliki oleh Indonesia. Maj uterus sepak bola nasional. Semoga (*)

Sumber: